SEJARAH
KETATANEGARAAN INDONESIA
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu : Dr. Any Ismayawati S.H, M. Hum.
Disusun Oleh :
Mohammad Iqbal Fatahillah (1520110036)
Fikrotul Mala S.
(1520110038)
M. Baayu Rizqun Kharis
(1520110045)
Dewi Ratna Sari
(1520110053)
Vibia Agus A.S
(15201100 )
Rajib Kurniawan
(1520110067 )
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (KUDUS
JURUSAN SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
PRODI AHWAL SYAKHSHIYYAH
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Setiap negara tentunya memiliki sejarah tentang ketatanegaraan
dalam negaranya. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dapat di bagi menjadi
beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai
sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh
sebelum proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan yang diucapkan dimuka
umum tanggal 17 agustus 1945 adalah suatu pernyataan de jure kepada seluruh
dunia bahwa diseluruh kepulauan Indonesia dalam tangan rakyat dan republic,
serta bermulalah kekuasaan de fakto kekuasaan Negara menjadi bulat dan lengkap
disegenap kepulauan Indonesia. Berdasarkan proklamasi kemerdekaan terbentuklah
Negara republic Indonesia tahun 1945.
Negara Indonesia adalah negara
demokrasi yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu segala aspek dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu sistem peraturan
perundang-undangan. Dalam pengertian inilah maka negara dilaksanakan berdasarkan
pada suatu konstitusi atau UUD. pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga tinggi
negara, keadilan sosial, dan lainnya diatur dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara. Hal inilah yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
System
ketatanegaraan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945, telah
mengalami beberapa kali perubahan system ketatanegaraan. System Ketatanegaraan
Indonesia pasca kemerdekaan yang pernah berlaku di Indonesia antara lain:
Periode (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949), Periode Berlakunya Konstitusi RIS
1949 (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), Periode UUDS 1950 (17Agustus 1950-5
Juli 1959), dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, serta rezim demokrasi terpimpin
dan masa Orde Baru (11 Maret 1966).
Dari pernyataan diatas inilah yang melatarbelakangi kelompok
kami untuk membahas lebih lanjut tentang sejarah dari ketatanegaraan Indonesia.
Agar kita dapat memahami bagaimana perkembangan proses ketatanegaraan di
Indonesia dari periode-periode yang ada.
- Perubahan Sistem Pemerintahan Negara
Sehari setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengesahkan
Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
Undang-Undang Dasar
Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang
pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan
kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan
bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan
pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan.
Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan
di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen
kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan
kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di
pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya
kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea
Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh
Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh
Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung
jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung
kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil
Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan
tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil Presiden diangkat oleh
MPR, sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua,
Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala
Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3).
Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan
Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu
yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak
bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak
terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan
pemerintahan) dalam praktiknya.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1).UUD 1945, yang
berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939; (2) Konstitusi Republik
Indonesia Serikat; (3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli
1959; (4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD
1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik
Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945.
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila
sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin
menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami
bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar mengatakan
kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga
secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui secara defacto
dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan
Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember
1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga
kesepakatan yaitu:
1. Mendirikan Republik Indonesia
Serikat
2. Penyerahan Kedaulatan kepada RIS
yang berisi tiga hal, yaitu; (a)piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan
Belanda kepada pemerintah RIS; (b) Status uni; (c) persetujuan perpindahan;
3. mendirikan uni antar Republik
Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah Konstitusi RIS disusun bersama
oleh delegasi REepublik Indonesia dan delegasi bijeenkomst voor federal overleg
(BFO) ke KMB. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Muhammad Roem dan Prof. Dr.
Soepomo yang terlibat dalam perumusan UUD. Kemudian naskah tersebut disepakati
kedua belah pihak untuk diberlakukan dan di Indoenesia dikenal dengan
Konstitusi RIS. Disampaikan kepada KNIP dan mendapat persetujuan pada tanggal
14 Desember 1949 kemudian dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949.
Negara RIS terdiri dari 16 negara
bagian, tujuh Negara bagian dengan wilayah menurut status quo yang
tercantum dalam Perjanjian Renvile tanggal 17 Jnuari 1948, yaitu Indonesia
Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan.
Sembilan stuan kenegaraan yang berdiri sendiri yaitu, Jawa Tengah, Bangka,
Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, Kalimantan Timur. Negara yang terpenting dan terluas ialah Negara
Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur,
Sat itu presiden pertama RIS ialah Ir.
Soekarno dan Drs. Mh. Htta sebagai PM pertama. Tokoh yang duduk dalam cabinet
ini antara lain; dari pihak Republik Sri Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo,
Prof. Dr. Soepomo, dr. Leimena, Arnold Manunutu, Ir. Herling Loah, dan dari BFO
yaitu Ide Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II. Anggota cabinet sebagian
besr mendukung unitarisme hanya dri BFO ynag menginginkan Federal. Hal ini
menyebabkan gerakan pembubarab Negara Federal lebih kuat terutama karena hal
tersebut tidak berdasarkan landasan konsepsional.
Hasil dari KMB merupakan bukan
cita-cita dari Rakyat Indonesia, hal ini tidak sesuai dengan Proklamasi 17
Agustus 1945. menurut para Founding Father KMB merupakan taktik untuk
mencapai cita-cita rakyat dengan menerima hasil tersebut lambat laun Indonesia
akan mendapatkan kedaulatan secara utuh, tanpa ikatan apapun.
Program utama cabinet Abdul Halim dari
Negara bagian RI yaitu membentuk Negara Kesatuan dengan mengadakan sentiment
anti-KMB dan RIS, yang sngat besar di Ygyakarta. Sehingga tidak sampai satu
tahun tiga belas Negara bergabung dengan RI (Yogyakarta). Usaha tersebut
berhasil setelah Negra Bagian Sumatra Timur dan Negara Bagian Indonesia Timur
bergabung. Dengan demikin tinggak stu Negara RI;RIS mengadakan persetujuan
dengan Negara RI untuk mewujudkan Negara Kesatuan dengan mengubah Konstitusi
Sementar RIS menjadi UUDS kemudian disusul dengan proklamasi pemebentukan
Negara Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno dihadapan sidang senat dan DPRS
tanggal 15 Agustus 1950 di Jakarta. Hal tersebut berdasarkan pasal 43 Konstitusi
RIS yang berbunyi:
“Dalam penyelesaian
susuna federasi RIS maka berlakulah asa pedoman, bahwa kehendak rakyatlah di
daerah-daerahbersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan
demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah
tersebut dalm federasi.” Maka kembalilah Indonesia menjadi
Negara Kesatuan atas kehendak rakyat.
Dalam rangka terbentuknya kembali
negara kesatuan maka perlu menyaiapkan naskan UUD dn dibentuklah panitia yang
akan menyusun rancangannya. Setelah selesai UUD tersebut disahkan oleh KNIP
tanggal 12 Agustus 1950 dan oleh DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat
tanggal 14 Agustus 1950 dan mulai diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950,
yaitu dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. UUDS bersifat sementara
sehingga isinya tidak mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS 1949.
tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS dengan nama Undang-Undang Dasar
Sementar 1950.
B. Perkembangan
Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1).UUD 1945, yang
berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939; (2) Konstitusi Republik
Indonesia Serikat; (3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli
1959; (4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD
1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik
Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945.
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila
sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin
menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami
bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar mengatakan
kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga
secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui secara defacto
dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan
Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember
1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga
kesepakatan yaitu:
1. Mendirikan Republik Indonesia
Serikat
2. Penyerahan Kedaulatan kepada RIS
yang berisi tiga hal, yaitu; (a)piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan
Belanda kepada pemerintah RIS; (b) Status uni; (c) persetujuan perpindahan;
3. mendirikan uni antar Republik
Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah Konstitusi RIS disusun bersama
oleh delegasi REepublik Indonesia dan delegasi bijeenkomst voor federal overleg
(BFO) ke KMB. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Muhammad Roem dan Prof. Dr.
Soepomo yang terlibat dalam perumusan UUD. Kemudian naskah tersebut disepakati
kedua belah pihak untuk diberlakukan dan di Indoenesia dikenal dengan
Konstitusi RIS. Disampaikan kepada KNIP dan mendapat persetujuan pada tanggal
14 Desember 1949 kemudian dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949.
Negara RIS terdiri dari 16 negara
bagian, tujuh Negara bagian dengan wilayah menurut status quo yang
tercantum dalam Perjanjian Renvile tanggal 17 Jnuari 1948, yaitu Indonesia
Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan.
Sembilan stuan kenegaraan yang berdiri sendiri yaitu, Jawa Tengah, Bangka,
Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, Kalimantan Timur. Negara yang terpenting dan terluas ialah Negara
Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur,
Sat itu presiden pertama RIS ialah Ir.
Soekarno dan Drs. Mh. Htta sebagai PM pertama. Tokoh yang duduk dalam cabinet
ini antara lain; dari pihak Republik Sri Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo,
Prof. Dr. Soepomo, dr. Leimena, Arnold Manunutu, Ir. Herling Loah, dan dari BFO
yaitu Ide Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II. Anggota cabinet sebagian
besr mendukung unitarisme hanya dri BFO ynag menginginkan Federal. Hal ini
menyebabkan gerakan pembubarab Negara Federal lebih kuat terutama karena hal
tersebut tidak berdasarkan landasan konsepsional.
Hasil dari KMB merupakan bukan
cita-cita dari Rakyat Indonesia, hal ini tidak sesuai dengan Proklamasi 17
Agustus 1945. menurut para Founding Father KMB merupakan taktik untuk
mencapai cita-cita rakyat dengan menerima hasil tersebut lambat laun Indonesia
akan mendapatkan kedaulatan secara utuh, tanpa ikatan apapun.
Program utama cabinet Abdul Halim dari
Negara bagian RI yaitu membentuk Negara Kesatuan dengan mengadakan sentiment
anti-KMB dan RIS, yang sngat besar di Ygyakarta. Sehingga tidak sampai satu
tahun tiga belas Negara bergabung dengan RI (Yogyakarta). Usaha tersebut
berhasil setelah Negra Bagian Sumatra Timur dan Negara Bagian Indonesia Timur
bergabung. Dengan demikin tinggak stu Negara RI;RIS mengadakan persetujuan
dengan Negara RI untuk mewujudkan Negara Kesatuan dengan mengubah Konstitusi
Sementar RIS menjadi UUDS kemudian disusul dengan proklamasi pemebentukan
Negara Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno dihadapan sidang senat dan DPRS
tanggal 15 Agustus 1950 di Jakarta. Hal tersebut berdasarkan pasal 43 Konstitusi
RIS yang berbunyi:
“Dalam penyelesaian
susuna federasi RIS maka berlakulah asa pedoman, bahwa kehendak rakyatlah di
daerah-daerahbersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan
demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah
tersebut dalm federasi.” Maka kembalilah Indonesia menjadi
Negara Kesatuan atas kehendak rakyat.
Dalam rangka terbentuknya kembali
negara kesatuan maka perlu menyaiapkan naskan UUD dn dibentuklah panitia yang
akan menyusun rancangannya. Setelah selesai UUD tersebut disahkan oleh KNIP
tanggal 12 Agustus 1950 dan oleh DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat
tanggal 14 Agustus 1950 dan mulai diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950,
yaitu dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. UUDS bersifat sementara
sehingga isinya tidak mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS 1949.
tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS dengan nama Undang-Undang Dasar
Sementar 1950.
C. Dekrit Presiden 5
Juli 1959
seperti halnya Konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan
Pasal 134, yang meharuskan Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera
menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikanb UUDS
1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk
Konstituante sebagai mana diamanatkan didalamnya,amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan
pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini
diadakan berdasarkan ketentuan UU No.7 tahun 1953. Undang-undang ini berisi dua
pasal. Pertama, berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950;
Kedua, berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya UUDS Tahun 1950 itu menggantikan
Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. atas dasar UU inilah diadakan
pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan
diBandung pada 10 November 1956.
Majlis Konstituante ini tidak atau beum
berhasil, Presiden Soekarno berkesimpulan Konstituante telah gagal. Ia
mengeluarkan Dekrit tanggal 5 juli 1959 sebagai UUD Negara Republik Indonesia
selanjutnya. Tindak mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 menjadi kontroversi
keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, dan isi dekrit yang memberlakukan
membubarkan konstituante; Sejak dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sampai
sekarang,UUD 1945 Tterus berlaku dan diberlakukan sebagai hokum dasar.
Dekrit tersebut dikeluarkan dengan alasan:
1.
bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang
disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada 22
April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan
dalam UUD Sementara;
2.
bahwa berhubung dengan pernyataan sebagai terbesar Anggota-anggota Sidang
Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia;
3.
bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang menbahayakan
persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan
semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;
4.
bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh
keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Negara Proklamasi;
5.
bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjadi UUD
1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Dari perdebatan di Konstituante
mengenai peraturan prosedur, disepakati bahwa hanya Konstituante yang berwenang
dalam membentuk UUD baru. Sementara itu, peran pemerintah terbatas pada
meresmikan dan mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh Konstituante.
Selain alas an procedural yang tidak
konstitusional, alas an fundamental yang menyebabkan para anggota Konstituante
menolak diberlakukannya kembali UUD 1945 karena adanya kekurangan dan kelemahan
yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni: pertama, memberi porsi
kekuasaan terlampau besar kepada eksekutif, yang memungkinkan terwujudnya
pemerintahan dictator; kedua, kurang memberikan perlindungan terhadap HAM dan hak-hak
warga negara; ketiga, begitu banyak loop holes yang terdapat dalam
rumusan pasal-pasal UUD 1945.
Mayoritas anggota Konstituante
berpendirian bahwa andaikata UUD 1945 tetap akan diberlakukan kembali, mereka
mengajukan persyaratan, yaitu harus dilakukan serangkaian amandemen terhdap UUD
1945 ini. Mereka mengantisipasi akan adanya bahaya diktatur apabila UUD 1945
diberlakukan kembali secara begitu saja.
Ketika Kontituante memasuki reses pada
Juni 1959, AH Nasution dengan Angkatan Daratnya memperkeras tekanan terhadap
partai-partai politik. AH Nasution berhasil memperoleh jaminan dari PNI, PKI,
dan NU bahwa mereka tidak akan menentang Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD
1945.
Tindakan partai-partai tersebut dengan
berbagai alasan pragmatis bias dimengerti, hanya saja sikap mereka itu kurang
melihat jauh kedepan. Sostem otoriter UUD 1945 bertentangan dengan
partai-partai politik, sebagaimana terbukti dalam perkembangan kemudian.
Menurut Daniel S. Lev, dibalik usul
Nasution untuk kembali ke UUD 1945 terdapat beberapa pertimbangan, yakni:
pertama, beberapa pasal didalam UUD 1945 dapat ditafsirkan sedemikian rupa
hingga memberi tempat bagi prwakilan golongan-golongan fungsional; kedua,
diberlakukannya UUD 1945 akan menghapus konstituate yang dianggap sebagai forum
pertentangan ideologis; ketiga, Pmbukaan UUD 1945 mengandung pemikiran abineti;
keempat, banyak diantar perwira termasuk yang bergabung dengan pemberontak,
mendukung UUD dan diharapkan akan meyakinkan perwira pemberontak bahwa wawasan
Anggota Angkatan Darat yang berbeda itu, akan mengakhiri pemberontakan.selain
itu juga Nasution mempertimbangkan dengan wewenag eksekutif Soekarno yang kuat
dan kepercayaan rakyat akan terpadu dalam diri satu orang.
Selanjutnya, Buyung mengungkapkan
secara hokum pembubaran Konstituante tidak abasah karena pemilihannya tidak
langsung oleh rakyat dan tidak dalam pemilu yang demokratis, dan mengenai tugas
yang tidak selesai juga tidak bias dijadikan alas an pembubaran.
Kembali kepada UUD 1945 merupakan awal
runtuhnya Demokrasi, kemudian Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin untuk
memenuhi kepentingan politik Soekarno dan tentara yang berwatak Otoriter.
Tindakan Soekrno disebut sebagai “kudeta konstitusional”. Suatu kesalahan besar
yang mennauhkan bangsa dari cita-cita “Negara konstitusional.
C. Dekrit Presiden 5
Juli 1959
seperti halnya Konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan
Pasal 134, yang meharuskan Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera
menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikanb UUDS
1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk
Konstituante sebagai mana diamanatkan didalamnya,amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan
pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini
diadakan berdasarkan ketentuan UU No.7 tahun 1953. Undang-undang ini berisi dua
pasal. Pertama, berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950;
Kedua, berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya UUDS Tahun 1950 itu
menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU
inilah diadakan pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante
yang diresmikan diBandung pada 10 November 1956.
Majlis Konstituante ini tidak atau beum
berhasil, Presiden Soekarno berkesimpulan Konstituante telah gagal. Ia
mengeluarkan Dekrit tanggal 5 juli 1959 sebagai UUD Negara Republik Indonesia
selanjutnya. Tindak mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 menjadi kontroversi
keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959, abinet dekrit yang memberlakukan
membubarkan konstituante; Sejak dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sampai
sekarang,UUD 1945 Tterus berlaku dan diberlakukan sebagai hokum dasar.
Dekrit tersebut dikeluarkan dengan
alasan:
1.
bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang
disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada 22
April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan
dalam UUD Sementara;
2.
bahwa berhubung dengan pernyataan sebagai terbesar Anggota-anggota Sidang
Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat Indonesia;
3.
bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang menbahayakan
persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan
semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;
4.
bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh
keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Negara Proklamasi;
5.
bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjadi
UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Dari perdebatan di Konstituante
mengenai peraturan prosedur, disepakati bahwa hanya Konstituante yang berwenang
dalam membentuk UUD baru. Sementara itu, peran pemerintah terbatas pada
meresmikan dan mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh Konstituante.
Selain alas an procedural yang tidak
konstitusional, alas an fundamental yang menyebabkan para anggota Konstituante
menolak diberlakukannya kembali UUD 1945 karena adanya kekurangan dan kelemahan
yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni: pertama, memberi porsi
kekuasaan terlampau besar kepada eksekutif, yang memungkinkan terwujudnya
pemerintahan dictator; kedua, kurang memberikan perlindungan terhadap HAM dan
hak-hak warga negara; ketiga, begitu banyak loop holes yang terdapat
dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945.
Mayoritas anggota Konstituante
berpendirian bahwa andaikata UUD 1945 tetap akan diberlakukan kembali, mereka
mengajukan persyaratan, yaitu harus dilakukan serangkaian amandemen terhdap UUD
1945 ini. Mereka mengantisipasi akan adanya bahaya diktatur apabila UUD 1945
diberlakukan kembali secara begitu saja.
Ketika Kontituante memasuki reses pada
Juni 1959, AH Nasution dengan Angkatan Daratnya memperkeras tekanan terhadap
partai-partai politik. AH Nasution berhasil memperoleh jaminan dari PNI, PKI,
dan NU bahwa mereka tidak akan menentang Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD
1945.
Tindakan partai-partai tersebut dengan
berbagai alasan pragmatis bias dimengerti, hanya saja sikap mereka itu kurang
melihat jauh kedepan. Sostem otoriter UUD 1945 bertentangan dengan
partai-partai politik, sebagaimana terbukti dalam perkembangan kemudian.
Menurut Daniel S. Lev, dibalik usul
Nasution untuk kembali ke UUD 1945 terdapat beberapa pertimbangan, yakni:
pertama, beberapa pasal didalam UUD 1945 dapat ditafsirkan sedemikian rupa
hingga memberi tempat bagi prwakilan golongan-golongan fungsional; kedua,
diberlakukannya UUD 1945 akan menghapus konstituate yang dianggap sebagai forum
pertentangan ideologis; ketiga, Pmbukaan UUD 1945 mengandung pemikiran abineti;
keempat, banyak diantar perwira termasuk yang bergabung dengan pemberontak,
mendukung UUD dan diharapkan akan meyakinkan perwira pemberontak bahwa wawasan
Anggota Angkatan Darat yang berbeda itu, akan mengakhiri pemberontakan.selain
itu juga Nasution mempertimbangkan dengan wewenag eksekutif Soekarno yang kuat
dan kepercayaan rakyat akan terpadu dalam diri satu orang.
Selanjutnya, Buyung mengungkapkan
secara hokum pembubaran Konstituante tidak abasah karena pemilihannya tidak
langsung oleh rakyat dan tidak dalam pemilu yang demokratis, dan mengenai tugas
yang tidak selesai juga tidak bias dijadikan alas an pembubaran.
Kembali kepada UUD 1945 merupakan awal
runtuhnya Demokrasi, kemudian Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin untuk
memenuhi kepentingan politik Soekarno dan tentara yang berwatak Otoriter.
Tindakan Soekrno disebut sebagai “kudeta konstitusional”. Suatu kesalahan besar
yang mennauhkan bangsa dari cita-cita “Negara konstitusional.
D. Reformasi dan
Peruybahan UUD 1945
Salah satu berkah Reformasi ialah
perubahan UUD 1945. Dari Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin dan pengangkatan
sebagai Presiden seumur hidup dengan ketetapan MPR merupakan salah satu
penyelewengan UUD 1945 dan Orde Baru hanya melahirkan system dictator dalam
kepemimpinan nagara.
Ketika Soerharto naik tahta,
penyelewengan UUD 1945 kembali terulang. UUD 1945 disakralkan hanya Pemerintah
Orde Baru yang boleh menafsirkan UUD, sementara MPR tinggal mengesahkan
saja.dengan adanya berbagai penyelewengan kemudian seluruh celah kekurangan UUD
1945 ditutupi dengan bingkai yuridis berupa ketetapan MPR No.I/MPR/1978 tentang
Peraturan Tata Tertib MPR, yang berisi tekad anggota MPR yang tidak akan
merubah dan akan melaksanakan secara murnu dan konsekuen.
Hal ini sangat ironis, padahal Pasal 37
UUD 1945 memberikan aakan adanya perubahan serta penyempurnaan. Tetapi dalam
praktiknya di belokkan melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 jo Tap MPR No.
VII/MPR/1988 jo UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. Sejak terjadi Reformasi
UUD menjadi “desakralisasi”
Alasan perubahan UUD 1945 secara
filosofis; pertama, karenaUUD 1945 adalah moment opname dari brbagai
kekuatan politik dan ekonomi yang dominant pada saat dirumuskannya konstitusi
itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai perubahan, baik ditingkat
nasional maupun global. Hal ini tentu saja belum tercakup didalam UUD 1945
karena saat itu belum tampak perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh
manusia yang sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetapi memiliki berbagai
kemungkinan kelemahan mupun kekurangan.
Dari aspek histories, dari mulai
pembuatannya UUD 1945 bersifat sementara, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir.
Soekarno (Ketua PPKI), dalam rapat pertama 18 Agustus 1945, yang mengatakan
sebagai berikut.
“…tuan-tuan semuanya
tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah
Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan “ini adalah
Undang-Undang Dasar kilat”, nanti kalau kita telah bernegara dalam susunan yang
lebih tentram, kia tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat
Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna …”.
Seara yuridis, para perumus UUD 1945
sudah menunjukan kearifan bahwa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun
tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat
akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai
produk hokum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu,
UUD akan aus dimakan masa apadila tidak diadakan pembaruan sesuai dengan
dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara dibidang politik, ekonomi,
abine, maupun budaya.
Tidak ada ketentuan lain menyangkut
perubahan UUD 1945 sebabtambahan muncul kemudian, yaitu melalui interpretasi
histories dan filosofis oleh ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan
UUD 1945 dinyatakan tidak dapat dirubah.
Dorongan memperbarui atau mengubah UUD
1945 didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai subsistem tatanan
konstitusi dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatsidee
mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi.
Secara substansip, UUD 1945 banyak
sekali kelemahan.hal itu dapat diketahui antara lain; pertama kekuasaan
eksekuif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances
yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu
menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah
Soepomo: “concentration of power and responsibility upon the president”; kedua,
rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum,
bahkan tidak jelas (vague) sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir;
ketiga, unsure-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam
UUD 1945; keempat, Uud 1945 terlalu menekan kepada semangat penyelenggara
negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar
kepada Presiden unuk mengatur berbagai hal penting dalam UU. Akibatnya, banyak
UU yang substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya (Presiden dan DPR)
ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang
penting justru diatur didalam Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum didalam
pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status dan materi Penjelasan UUD 1945. Persoalan
ini sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan karena banyak
materi Penjelasan yang tidak diatur didalam pasal-pasal UUD 1945.
Fraksi-fraksi di MPR menyepakati bahwa
perubahan UUD 1945 tidak menyangkut dan mengganggu eksistensi negara, tetapi dimaksudkan
untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan Negara agar lebih
demokratis, seperti disempurnakannya sistem checks and balances dan
disempurnakannya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia.
Ditengah proses pembahasan perubahan
UUD 1945, PAH I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945.
Kesepakatan dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:
1.
tidak mengubah Pembukaan UUD1945;
2.
tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
mempertegas system pemerintahan presidensial;
4.
penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normative dalam Penjelasan
dimasukan kedalam pasal-pasal;
5.
perubahan dilakukan dengan cara ”abinet”.
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar
filosofisdan dasar normative yang mendasari seluruh pasal dalam UUD1945.
Pembukaan UUD 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) Negara, serta dasar negarayang harus
tetap diperhatikan.
Kesepakatan untuk tetapmempertahakan
bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesepakatan dasar untuk mempertegas system pemerintahan presidensial bertujuan
untuk memperkukuh system pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut
oleh negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun
1945. Dalam system ini terdapat lima prinsip penting, yaitu: (1) Presiden dan
Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggaraan kekuasaan eksekutif
negara yang teringgi dibawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh rakyat secara langsungan karena itu secara politik tidak
bertanggungjawab kepada Majlis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen,
melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. (3)
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan
konstitusi. (4) Para mentri adalah pembantu Presiden. Mentri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden abinetiv itu bertanggungjawab kepada Presiden,
bukan dan tidak bertanggungjawab kepada parlemen. (5) Untuk membatasi kekuasaan
Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat sesuai
kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa
jabatan presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih
dari dua masa jabatan.
Penjelasan UUD 1945 menjadi tidak
relevan lagi setelah UUD 1945 diubah sampai keempat kalinya. Dalam Aturan
Tambahan Pasal II Perubahan Keempat UUD 1945, yang menegaskan:
“Dengan ditetapkannya perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Peniadaan Penjelasan
UUD 1945 dilakukan untuk menghindari kesulitan dalam menentukan status Penjelasan
dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan.
Kesepakatan perubahan UUD 1945
dilakukan dengan cara “abinet”, yakni perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap
mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Lembaran Negara
No. 75 Tahun 1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah
perubahan-perubahan UUD 1945 diletakan melekat pada naskah asli.
Sebagai pemimpim
departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya.
Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui
departemennya.
Pada masa awal
pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan kekuasaanya bukan hanya
sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga
berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi “ sebelum Majelis
PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan
agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan
oleh presiden di Bantu oleh Komite Nasional”. Presiden juga mempunya
tugas-tugas sebagai berikut.
1.
Majelis Perusyawaratan Rakyat
- Menetapkan Undang-Undang Dasar
(Pasal 3)
- Menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara (Pasal 3)
- Mengubah Undang-Undang Dasar
(Pasal 37)
- Memilih Presiden dan Wakil
Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal 9)
- Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal
1 ayat (2))
2.
Dewan Perwakilan Rakyat
- Memajukan Rancangan Undang-Undang
(Pasal 1 ayat (2))
- Mengesahkan Anggaran Keuangan
Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
3.
Dewan Pertimbanag Agung
- Memeberi jawab atas pertanyaan
presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1)
dan (2)).
Berdasarkan ketentuan
ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang besar,
Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan
tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya Presiden
dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali
tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya.
Kekuasaan luar biasa
Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR, dan
DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945
PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi
Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan
Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang
yang dikehendaki.
Perjalanan sejarah
telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan perkembangan UUD 1945 telah
mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945,
terjadi perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan
Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang
menetapkan sebagai berikut:
“Komite Nasional
Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan
garis-garis besar daripada haluan Negara”
“bahwa
pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilihantara mereka serta
bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.
Apabila
kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting,
yaitu:
1.
Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.
2.
Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
3.
Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional
Pusat.
Tugas abinetive yang diserahkan kepada
Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang,
baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi
pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal
IV Aturan Peralihan.
Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah
Mansoer, sebenarnya dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang
fundamental dalam hubungan ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil
masih dalam batas-batas Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative,
kalau tadinya Presiden mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang
tugas itu oleh Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya
peranan bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K.
Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden
yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional
pada tnggal 16 oktober 1945.
Untuk menghindari kesalah pahaman
terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP tersebut, pada 20 Oktober 1945
dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang menyatakan sebagai berikut.
1. Turut menetapkan garis-garis besar
haluan Negara
Ini be arti bahwa Badan Pekerja
bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan
Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid)
pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan
Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan
Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu tindakan yang maksudnya
akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada. Dengan Maklumat
ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam susunan abinet yang baru.
Semula cabinet ialah dibawah pimpinan
Presiden akan tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan
yang diketuai oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir.
Dalam hal yang terpenting menurut
Joeniarto, di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula
UUD menganut sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung
jawaban mentri dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang
semula mentri bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana
mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat
pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim
ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa
dasar hokum kedua maklumat tersebut.
Mengenai perkembangan konstitusi
tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes in the working of a
constitution occur without any alteration in the rules of custom and
convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah benar.
Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD
sendiri.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan
Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X, sebenarnya belumlah
terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu hanya penegasan terhadap
pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur didalam UUD
1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara kepada perdana mentri
merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini seharisnya tidak
dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 17 UUD
1945.
Sampai saat ini terjadi perdebatan
dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat tersebut. Diantaranya, Ismail
Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat tersebut adalah kebiasaan atau
“convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan tanggungjawab
mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan sebagai
berikut.
“Apabila convention
itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan
bersifat sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat
hilang kalau DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan
pemilihan umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang
bermaksud menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun
kelihatannya bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati.
Sementara Assat mempertahankan bahwa,
perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite Nasional Pusat pada sidang
III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan
keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa persetujuan
tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah diamanatkan oleh UUD
1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta kedudukannya
tidak jelas apakah lebih tinggi dari Uud atau lebih rendah. Jika lebih rendah
ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan mengubahnya
dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-undangan terttinggi pada
waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa kementerian
yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan berlawanan dengan
pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa ketentuan tersebut
tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan abru yang sengaja
diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan Undang-Undang
melalui ketentuyan pasal 37. Jika memang hal tersebut tidak diatur maka
convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal itu menyalahi
aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar pelengkap, bias
di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya harus dilakukan
oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat
tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui
prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak diatur
dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup d’etat,
convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam
kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun ada.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, ni’matul. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Rajawali pers
Daman, Rozikin. 1993. Hukum Tata Negara (suatu
pengantar). Jakarta: Rajagrafindo
Zaeni Asyhadie, Haji. 2015. Pengantar Hukum Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
No comments:
Post a Comment