GUGATAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu :
Ahmad Nur Qodin S.H.I., M.H
Kelompok
3
Disusun Oleh :
1. Muhammad
Azam K. ( 1520110051 )
2. Dewi
Ratna Sari (1520110053
)
3. Muhammad
Mukhsin (1520110054 )
Kelas : AS-B / SEMESTER 5
PRODI
AKHWALUS SYAKHSIYYAH
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat yang
selalu bersosialisasi tidak jarang terjadi konflik antara individu satu dengan
yang lainnya maupun antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.
Terkadang konflik yang terjadi menimbulkan kerugian kepada pihak yang lainnya.
Agar dalam mempertahankan hak masing-masingnya tidak melampaui batas dari norma
yang telah ditentukan maka perbuatan seenaknya harus di hapuskan.
Masalah hukum sering kali terjadi di
lingkungan masyarakat. Bahkan setiap harinya pastinya tak jarang terjadi. Untuk
menegakkan keadilan bagi setiap warga maka perlu adanya cara yang tepat
bagaimana mengajukan ke tempat yang semestinya yaitu pengadilan. Banyak orang –
orang yang memepunyai masalah hukum terkait perceraian, penipuan dan
sebagainya, sering kali salah atau kebingungan dalam menindak lanjuti ke
pengadilan tersebut. Bahkan kadang terjadi kesalahan yang perlu untuk di benahi
oleh para pembela keadilan itu. Untuk itu dalam makalah ini, kami akan membahas
lebih lanjut bagaimana cara mengajukan gugatan perkara ke tingkat yang tinggi
seperti pengadilan. Sehingga kita dapat mengetahui tentang ruang lingkup
gugatan itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian dari gugatan ?
2.
Siapa
saja pihak – pihak dalam gugatan?
3.
Apa
saja bentuk gugatan ?
4.
Bagaimana
sistem gugatan dan tata cara memasukkan gugatan ?
5.
Bagaimana
formulasi gugatan
C.
Tujuan
1.
Untuk
menjelaskan pengertian dari gugatan ?
2.
Untuk
mengetahui pihak – pihak dalam gugatan?
3.
Untuk
mengetahui bentuk gugatan ?
4.
Untuk
mengetahui sistem gugatan dan tata cara memasukkan gugatan ?
5.
Untuk
mengetahui formulasi gugatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gugatan
Gugatan
dalam bahasa hukum islam disebut “ad-da’wa”.
Kata “ad-da’wa” ini dipergunakan pula
sebagai tuntutan pidana, yakni da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung
dengan konsep kalimat.[1]
Darwan
Prints mengartikan gugatan dengan: suatu upaya hukum atau tindakan untuk
menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya
guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan
pengadilan.
Mardani
mengartikan gugatan dengan; suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada
Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu
pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigen richting).[2]
Kesimpulannya gugatan adalah
suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang
mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainya dan haru s diperiksa menurut tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian
diambil putusan terhadap gugatan tersebut.[3]
B.
Pihak
– Pihak Gugatan
a.
penggugat dan tergugat
penggugat ialah
orang yang menuntut hak perdatanya ke muka pengadilan perdata. Penggugat ini
disebut eiser ( belanda ) atau al – mudda’y
( arab ). Penggugat mungkin sendiri dan mungkin gabungan dari
berapa orang , sehingga muncullah istilah penggugat 1, penggugat 2, dan penggugat 3, dan seterusnya.
Juga mungkin memakai kuasa sehingga ditemui istilah kuasa penggugat, kuasa
penggugat 1, kuasa penggugat 2, dan seterusnya.
Lawan dari
penggugat disebut tergugat. Keadaan tergugat juga mungkin sendiri atau mungkin
gabungan dari beberapa orang atau memakai kuasa, sehingga muncul istilah
tergugat 1, tergugat 2, tergugat 3, dan seterusnya. Kuasa tergugat 1 , kuasa
tergugat 2, kuasa tergugat 3, dan seterusnya.[4]
b.
pemohon dan termohon
Di samping
peradilan dalam arti yang sesungguhnya, ada kemungkinan seorang memohon kepada
pengadilan untuk minta ditetapkan atau mohon di tegaskan sesuatu hak bagi
dirinya atau tentang sesuatu situasi hukum tertentu, baginya sama sekali tidak
ada lawan ( tidak berperkara dengan
orang lain). Orang yang memohon di situ dengan istilah pemohon atau
introductief request atau al – mudda’y. Peradilan perdata yang menyelesaikan
perkara permohonanseperti di atas, disebutjurisdictio voluntaria atau peradilan
yang tidak sesungguhnya.
Termohon
sebenarnya dalam arti asli, bukanlah sebagai pihak tetapi hanya perlu
dihadirkan di depan sidang untuk di dengar keterangannya untuk keentingan
pemeriksaan, karena termohon mempunyai hubungan hukum langsung dengan pemohon.
Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperative hadir di depan sidang seperti
halnya tergugat, artinya sekalipun termohon tidak hadir, bilamana permohonan
cukup beralasan terbukti maka permohonannya akan dikabulkan dan kalau tidak
terbukti akan ditolak.
c.
Kuasa khusus dan penasehat Hukum
Tentang kuasa
khusus dan penasehat hukum dimaksudkan
dalam uraian di sini karena menyangkut langsung pihak – pihak yang berperkara.
Istilah kuasa khusus selalu dikaitkan dengan perkara perdata sedangkan
penasihat hukum selalu dengan perkara pidana. Itu berarti bahwa istilah
penasihat hukum tidak akan diketemukan dimuka peradilan Agama yang perdata itu
dan istilah kuasa khusu tidak akan diketemukan dimuka pengadilan pidana. [5]
C.
Bentuk Gugatan
Tentang bentuk gugatann dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 18
ayat 1 HIR atau pasal 142 ayat 1 RGB dan pasal 144 ayat 11 RGB, dari ketentuan
pasal – pasal yang dimaksud, gugatan dapat:
a. Bentuk
Tertulis
- ditandatangani, dan
- memenuhi peraturan perundang – undangan materai ( zegel
verordening )
Jika
gugatan berbentuk tertulis, harus memenuhi syarat formal berupa tanda tangan
dan bermaterai cukup sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Gugatan
yang berbentuk tertulis inilah yang disebut” surat gugatan “. Mengenai
penandatanganan surat gugatan, dapat dilakukan penggugat in person. Tetapi
boleh juga ditanda tangani oleh seorang atau beberapa kuasa, asal sebelum
membuat dan menandatangani surat gugatan telah lebih dulu mendapat “ surat
kuasa khusus “. Jika surat kuasa yang dimiliki hanya bersifat “kuasa umum”,
tidak sah mentandatangani surat gugatan.
Menegnai
masalah tanda tangan dalam surat gugtan tidak perlu disahkan atau diwaarmerking
pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai dengan penegasana salah satu putusan MA
tanggal 4 Juli 1978 No. 840 K/Sip /1975
bahwa “surat gugatan bukan merupakan aktta dibawah tangan maka syarat gugatan
tidak terikat pada ketentuan Pasal 286 ayat 2 RGB jo. Stb. 1919-776’’. Lain halnya jika surat gugatan dibubuhi
dengan cap jempolbaru diharuskan adanya pengesahan atas jempol tersebut. Namun
seandainya lalai, dapat disempurnakan. Hal itu antar lain dapat dilihat dalam
putusan MA tanggal 24 Agustus 1978 No. 769 K/ Sip/ 1976: “ gugatan bercap
jempol yang tidak dilegalisasi, berdasar yurisprudensi bukanlah batal menurut
hukum, tapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian.”[6]
b.
Berbentuk Lisan
- bagi
penggugat yang buta huruf, dan
- diajukan
langsung kepada Ketua Pengadilan
Bentuk gugat
yang kedua berbentuk lisan. Hal ini di atur dalam pasal 120 HIR atau pasal 144
ayat 1 RGB. Di situ ditegaskan, bilamana penggugat buta huruf, gugatan dapat
diajukan dengan lisan kepada ketua Pengadilan.. terhadap gugat lisan tersebut,
ketua pengadilan mencatat atau menyuruh catat kepada salah seorang pejabat
pengadilan. Kemudian dari catatan tersebut ketua pengadilan menformulasi berupa
surat gugatan.
Tujuan memberi
kelonggaran mengajukan gugat secara lisan, untuk membuka kesempatan kepada
rakyat pencari keadilan yang buta akan aksara membela dan mempertahankan
haknya. Dalam memberi bantuan
menformulasi gugat lisan yang disampaikan, ketua Pengadilan tidak boleh menyimpang
dari maksud dan tujuan yang dikehendaki penggugat. Oleh karena itu, kebodohan
penggugat, jangan semakin dibodoh – bodohi. [7]
D.
Sistem Gugatan dan Tata cara memasukkan Gugatan
1.
Sistem Gugatan
System gugatan disebut juga “stelsel gugatan”. Maksudnya bagaimanaa
cara memasukkan permintaaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan,agar
permintaan dapat diterima pihak pengadiln. Tidak sembarang cara memasukkan
permintaan pemeriksaan perkara. Harus dituruti tata cara yang ditentukan undang
undang. Dalam sejarah pengadilan di Indonesia, dikenal dua sistem gugatan. Yang
satu disebut sistem dagvarding,dan yang satu lagi disebut sistem “permohonan”.
a.
Secara
Dagvarding
sistem pemasukan perkara secarab dagvarding,diatur dalam pasal
1RV(Reglement of de rechtsvordering,S.1849-61). Dalam Bahasa Indonesia disebut
Reglement acara perdata,diberlakukan dimasa kolonial sebagai hukum acara
perdata pada Raddvan justitie. Dalam stelsel dagvarding,gugatan diberitahu oleh
seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung
menyampaikan panggilan agar tergugat datang menghadap hakim untuk diperiksa
perkaranya dalam suatu proses perdata.
b.
Secara
permohonan
Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada
ketua pengadilan yang berisi “permintaan” agar pengadilan memanggil penggugat
serta pihak yang digugat untuk datang menghadap ke sidang pengadilan untuk
memerikasa sengketa yang diperkarakan penggugat terhadap tergugat, sebagaimana
yang diutarakan dalam surat gugatan. Pengajuan gugat dengan cara permohonan
yang di anut di lingkungan pengadilan Umum dengan sendirinya berlakuk sekarang
di lingkunan pengadilan Agama berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU No. 7 Tahun
1989. Sistem permohonan digariskan dalam pasal 119 HIR atau Pasal 143 RBG. Dan
apa yang digariskan dalam HIR dan RGB tersebut ditegaskan kembali dalam pasal
55 UU No. 7 Tahun 1989. Jadi pemeriksaan perkara di pengadilan baru dapat di
mualai setelah diajukan permohonan atau gugatan.[8]
2.
Tata cara memasukkan Gugatan
Seperti yang sudah di singgung di atas tata cara pengajuan
permohonan atau gugatan di atur dalam
pasal 19 HIR atau Pasal 143 RGB. Menurut ketentuan pasal dimaksud.
a)
Permohonan
ditujukan kepad a Ketua Pengadilan
Permohonan atau gugatan di alamatkan kepada ketua pengadilan dengan
permintaan agar pengadilan:
1. memeriksa hari persidangan
2. memanggil penggugat dan tergugat, dan
3.memeriksa perkara yang diajukan penggugat kepada tergugat
b)
Gugatan
disampaikan kepada kepaniteraan pengadilan
Sekalipun gugatan dan dialamatkan kepada ketua pengadilan, tapi
penyampaiannya dimasukkan kepada panitera pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam
pasal 121 ayat (1) HIR atau pasal 145 ayat (1) RGB
c)
Pemohon
wajib lebih dulu membayar ongkos perkara
Lebih
lanjut pasal 121 ayat 4 atau pasal ayat 4 RGB menegaskan, salah satu syarat
formal gugatan, agar gugatan resmi dapat diterima dan di daftarkan dalam buku
register perkara, apabila membayar “panjar” ongkos perkara. Selama penggugat
belum melunasi panjar ongkos perkara berdasar perhitungan yang diperkirakan
pengadilan, gugatan tidak boleh di daftar dalam buku register perkara, dan
gugatan dianggap belum ada.
Perhitungan
panjar ongkos perkara yang disebut dalam pasal 121 ayat 4 HIR atau pasal 145
RGB, berpatokan pada taksiran biaya kantor kepaniteraan dan ongkos – ongkos
melakukan segala jenis panggilan dan pemberitahuan serta biaya materai.
Memperhitungkan biaya pemanggilan atau pemberitahuan didasarkan kepada keadaan
setempat. Tergantung pada jarak pihak – pihak yang hendak dipanggil. Jika
jaraknya jauh, perhitungan sesuai dengan ongkos perjalanan yang umum. Jangan
diambil perhitungan biaya transportai yang mahal seperti taksi dan sebagainya.
Jika tempat itu dapat dicapai dengan pengangkutan bis umum. Ketentuan biaya
perkara yang diatur dalam opasal HIR atau RGB, diperjela lagi dalam pasal 90 UU
No. 7 Tahun 1989. Dalam pasal ini dirinci apa saja yang menjadi dasar p
erhitungan jumlah biaya perkara:
1)
Biaya
kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara itu
2)
Biaya
untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang
diperlukan dalam perkara itu
3)
Biaya
yang diprlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang
diperlukan oleh pengadilan dalam perkara itu
4)
Biaya
pemanggilan, pemberitahuan, dan lain – lain.[9]
E.
Formulasi Gugatan
Formulasi gugatan ialah rumusan dan sistematika gugat yang tepat
menurut hukum dan praktek peradilan. Sehubungan dengan masalah formulasi gugat,
masih ditemukan gugat yang tidak memenuhi syarat. Tidak kecuali gugatan yang
dibuat pengacara sekalipun, masih kurang sempurna formulasi dan sistematikanya.
Dalam uraian ini, akan di coba menguraikan pokok – pokok formulasi gugat sesuai
dengan ketentuan hukum.
1)
Pencantuman
tanggal gugatan
-
Boleh
pada bagian depan halaman pertama, atau
-
pada halaman akhir di atas tanda tangan
penggugat
kealpaan mencantumkan tanggal tidak mempengaruhi keabsahan gugat.
Karena tanggal bukan syarat formal surat gugatan. Cuma di pandang dari segi
sifat surat gugatan sebagai suatu permintaaan resmi kepada pengadilan untuk
memanggil, dan memeriksa pihak penggugat dan tergugat dalam sidang pengadilan,
janggal sekali jika surat gugatan tidak mencantumkan tanggal. Dalam praktek
peradilan, tanggal surat gugat secara resmi dicantumkan dalam putusan, tetapi
sekiranya alpa, asar tanggal resminya surat gugat dapat diambil dari tanggal
pendaftaran dalam buku registrasi perkara.
2)
Pencantuman
alamat ketua pengadilan
Sesuai dengan
ketentuan pasal 118 ayat 1 HIR atau pasal 142 ayat 1 RGB, surat gugatan
dialamatkan kepada ketua pengadilan. Oleh karena itu, surat gugatan harus
mencantumkan bahwa gugatan dialamatkan kepada ketua pengadilan. Hal ini sesuai
dengan maksud gugatan, tiada lain dari permintaan atau permohonan langsung
kepada pengadilan agar memanggil dan memeriksa para pihak dalam
pemeriksaanpersidangan pengadilan. Cuma hal itu bukan syarat formal keabsahan
surat gugatan. Seadndainya penggugat lupa, tidak mengakibatkan gugatan tidak
sah. Kelalaian itu dapat dianggaap sudah tercantum dalam gugatan.
3)
Pencantuman
lengkap dan terang nama serta alamat para pihak
Sistematika
berikut ialah pencantuman nama lengkap serta alamat yang terang dari para
pihak. Hal ini merupakan salah satu factor esensial syarat formal surat
gugatan. Sedapat mungkin mengenai penulisan nama selengkapnya termasuk gelar
atau panggilan sehari – hari, guna menghindari terjadinya erroe persona.
Apalagi menghadapi hakim yang berpandangan sempit dan formalistic, kesalahan
penulisan nama saja dapat diadikan alasan untuk menyatakan gugat tidak
sempurna. Sekalipun diakui bahwa pencantuman nama harus lengkap dan terang,
kekeliruan penulisan harus dianggap masih dalm batas – batas yang dapat
ditolerir. Apalagi setelah dicocokkan dengan alamat tempat tinggal memang dia
itulah orang yang dimaksud penggugat, kesalahan penyebutan nama yang tidak
sampai mengelirukan dapat diperbaiki hakim dalam persidangan. [10]
4)
Penegasan
parra pihak dalam perkara
Formulasi
penegasan para pihak gugatan, penulisannya langsung mengikuti penyebutan
identitas. Penegasan ini merupakan syarat formal. Kelalaian atasnya dapat
dianggap gugatan obscure libel. Sebab tujuan penegasan kedudukan para pihak
berkaitan erat dengan hak membela dan mempertahankan kepentingan para pihak.
Sekiranya surat gugatan hanya mencantumkan identitas seseorang tapi tidak
menegaskan posisinya dalam perkara apakah sebagai tergugat atau tidak,
bagaimana mungkin orang yang bersangkutan dapat membela dan mempertahankan hak
dan kepentingannya. Itu sebabnya di samping dalam posita diuraikan hubungan
hukum yang terjadi antara pihak, harus ditegaskan satu persatu kedudukan para
pihak dalam surat gugatan. Jika tidak, gugatan dianggap “ kabur” atau obscur
libel.
5)
Uraian
posita atau dalil gugat
Posita gugat
adlah penjelasan dalil atau alasan gugatan. . ia merupakan esensi gugatan yang
berisi hal – hal penegasan hubungan hukum antara penggugat dengan tobyek yang
disengketakan pada satu segi, hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat
serta hubungan tergugat dengan obyek sengketa pada segi yang lain.posita
merupakan penjelasan dan penegasan “ materi” perkara yang lazim juga disebut
pokok perkara.
6)
Perumusan
hal – hal yang bersifat assessor
Dalil gugatan dengan segala penjelasan yang
membarenginya adalah bagian dari pokok perkara atau materi perkara. Tapi
terkadang gugatan poko sering diikuti dengan gugatan atau permintaan yang
bersifat assessor. Maksudnya, dengan
adanya gugatan pokok, hukum membenarkan penggugat mengajukan gugatna
tambahan yang melakat pada gugat pokok. Ada gugat assessor yang tidak murni.
Dikatakan assessor yang tidak murni, sekalipun pada dasarnya gugtan assessor
tersebut mutlak melekat pada gugat pokok, dia dapat diajukan sebagai gugat yang
berdiri sendiri setelah gugat pokok memperoleh kekuatan hukum tetap.
7)
Pencantuman
permintaan utuk dipanggil dan diperiksa
Pencantuman
permintaan agar para pihak dipanggil dan diperiksa dalam persidangan adalah
rumusan formal memenuhi ketentuan pasal 121 ayat 1 HIR atau pasal 145 ayat 1
RGB. Namun demikian rumusan ini bukan syarat formal yang menentukan keabsahan
surat gugatan. Sekiranya lalai mencantumkan, tidak mengakibatkan surat gugatan
mengandung cacat
8)
Petitum
gugat
Petitum gugat
disebut juga ditum gugat. Petitum gugat merupakan kesimpulan gugatan yang
berisi rincian satu persatu tentang apa yang diminta dan dikendaki penggugat
untuk dinyatakan dan dihukumkan kepada para pihak, terutama kepada pihak
tergugat. Dengan katai lain, petitum merupakan kesimpulan akhir gugatan yang
berisi rincian tuntutan penggugat kepada pihak tergugat. [11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan
yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainya dan harus
diperiksa menurut tatacara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil
putusan terhadap gugatan tersebut.
Pihak
– Pihak Gugatan
a.
penggugat dan tergugat
b.
pemohon dan termohon
c. Kuasa
khusus dan penasehat Hukum
Adapun tentang bentuk gugatann dapat disimpulkan dari
ketentuan pasal 18 ayat 1 HIR atau pasal 142 ayat 1 RGB dan pasal 144 ayat 11
RGB, dari ketentuan pasal – pasal yang dimaksud, gugatan dapat:
a. Bentuk Tertulis
- ditandatangani, dan
- memenuhi peraturan perundang – undangan
materai ( zegel verordening )
b.
Berbentuk Lisan
- bagi penggugat yang buta huruf,
dan
- diajukan langsung kepada Ketua
Pengadilan
Dalam sejarah pengadilan di
Indonesia, dikenal dua sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvarding,dan
yang satu lagi disebut sistem “permohonan”.Dalam stelsel dagvarding,gugatan
diberitahu oleh seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Sedangkan
sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan yang berisi “permintaan” agar pengadilan memanggil penggugat serta
pihak yang digugat untuk datang menghadap ke sidang pengadilan
Formulasi gugatan ialah rumusan dan
sistematika gugat yang tepat menurut hukum dan praktek peradilan. Ada beberapa
formulasi gugatan:
ü Pencantuman tanggal gugatan
ü Pencantuman alamat ketua pengadilan
ü Pencantuman lengkap dan terang nama serta alamat para pihak
ü Penegasan para pihak dalam perkara
ü Uraian posita atau dalil
gugat
ü Perumusan hal – hal yang bersifat assessor
ü Pencantuman permintaan utuk dipanggil dan diperiksa
ü Petitum gugat
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga makalah ini menjadi salah
satu bahan untuk menambah pengetahuan kita tentang materi gugatan, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyusaunan makalah
berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Bintania, Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Harahap, Yahya. 2003. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama. Jakarta: Sinar Grafika.
Noviardi. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama. Bukit Tinggi:
STAIN Press.
Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan
Perdata,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rasyid, A Roihan. 2015. Hukum Acara Peradilan Agama.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[1] Noviardi, Hukum
Acara Peradilan Agama, STAIN Press, Bukit Tinggi, 2010, hal., 28.
[2] Aris Bintania,
Hukum Acara Peradilan Agama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012,
hal., 4.
[3] Darwan Prinst,
Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT Citra Aditya Bakti,
2002, hal., 2.
[4] Roihan A.
Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2015, hal., 58.
[5] Ibid.
hal., 59-61.
[6] Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta,
2003, hal.,187.
[8] Ibid.,
hal., 185.
No comments:
Post a Comment