HUKUM
ISLAM DAN LAPISAN SOSIAL MASYARAKAT
Tugas Makalah Guna
Memenuhi
Mata
Kuliah : Sosiologi Hukum Islam
Dosen
Pengampu : Hasanain Haikal Hadining, S.H, MH
Disusun
Oleh :
Dewi
Ratna Sari ( 1520110053
)
Muhammad
Mukhsin (
1520110054 )
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / PRODI AHWAL
SYAKHSHIYYAH
TAHUN
AJARAN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Setiap
masyarakat mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal – hal tertentu dalam
masyarakat yag bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal – hal
tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada
kedudukan yang lebih tinggi dari lainnya.
Kalau
suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan,
misalnya mereka lebih banyak mempunyai kekayaan materill akan menempati
kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak – pihak lain.
Gejala tersebut menimbulkan lapisan social masyarakat, yang merupakan pembedaan
posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda – beda secara
vertical.
Bahkan
pada zaman dahulu, filsuf Aristoteles ( Yunani ) mengatakan di dalam negara
terdapat tiga unsur, yaitu mereka kaya sekali, melarat, dan berada di tengah –
tengahnya. Ucapan demikian paling tidak membuktikan bahwa di zaman itu, dan
sebelumnya, orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai
kedudukan bertingkat – tingkat dari bawah ke atas.
Seorang
sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin, pernah mengatakan bahwa lapisan
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur.
Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat
banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atasan. Mereka yang hanya
sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga daalam pandangan
masyarakat mempunyai keudukan yang rendah.
Dalam
setiap ajaran agama, khususnya ajaran agama islam muncul istilah keadaan
social. Secara implisit, hal ini menandakan adanya kelas – kelas atau tingkatan
– tingkatan dalam masyarakat, baik berdasarkan ekonomi, pendidikan, status,
atau kekuasaan, dan sebagainya.
Ada
pula perbedaan jenis kelamin, ras, suku bangsa warna kulit, bahasa, dan bentuk
tubuh. Perbedaan tersebut tidak di maksudkan untuk membeda – bedakan keberadaan
manusia satu sama lain, melainkan untuk
menunjukkan kebesaran dan kekuasaan
Allah. Namun karena manusia diciptakan Allah dengan dilengkapi akal dan
nafsu, muncul persaingan di antara mereka untuk saling mengungguli dan saling
menguasai dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang ekonomi, kekuasaan, ilmu
pengetahuan ataupun bidang kehidupan lainnya.
Persaingan
tersebut lambat laun semakin menajam sehingga ada yang unggul dan ada yang
diungguli, juga ada yang menang da nada yang kalah. Pihak yang unggul menjadi
kelompok yang berkuasa dan yang diungguli menjjadi kelompik yang dikuasi oleh
pihak yang menang “ menjajah “ dan yang kalah “ dijajah “. Dari fenomena
seperti itu, lahirlah pembedaan – pembedaan eksistensi manusia yang semuala
diciptakan sama derajatnya menjadi terpilah – pilah pada lapisan tertentu.
Hukum
islam secara konseptual dalam alqur’an dan hadist tidak mengakui adanya lapisan
social. La fadhlali’arobiyyin wala’ ajamiyin illa bittaqwa. Ini menunjukkan
adanya kesamaan dalam kedudukan antara
sesama manusia menurut islam.
Lapisan
social merupakan suatu fakta yang ada dalam masyarakat kalangan islam. Sebut
saja ada kyai, santri, dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan adanya lapisan social dalam masyarakat muslim yang terbentuk dengan sendirinya tanpa
ada intervensi dari siapapun. Bahkan negara pun tidak pernah mengatur tentang
lapian social.
1.
Kalau kita
mengkaji hukum islam dan lapisan social masyarakat, di dalam hukum islam
mengatur adanya lapisan social tetapi bukan berarti mereka yang di lapisan
paling atas mendapat keringanan hukum, tetapi di sini menjelaskan bahwa hukum
memang banyak yang di produksi oleh mereka yang berada pada lapisan paling
atas. Dalam makalah ini, kami hanya mengulas mengenai pengertian hukum islam,
pengertian lapisan social, factor – factor terjadinya lapisan social, lapisan
social masyarakat di Indonesia ,serta pengaruh lapisan social masyarakat terhadap
implementasi hukum Islam
II.
Rumusan Masalah
2.
Apakah yang
dimaksud dengan hukum Islam ?
3.
Apakah yang
dimaksud Lapisan Sosial ?
4.
Apa saja faktor
– factor yang mempengaruhi terbentuknya lapisan social masyarakat ?
5.
Bagaimana
lapisan social masyarakat di Indonesia ?
6.
Bagaimana pengaruh lapisan social masyarakat terhadap
implementasi hukum Islam ?
III.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari hukum Islam
2.
Untuk mengetahui
pengertian dari lapisan social masyarakat
3.
Untuk mengetahui
apa saja factor – factor yang mempengaruhi terbentuknya lapisan social
masyarakat
4.
Untuk
mengetahui lapisan social masyarakat di
Indonesia
5.
Untuk mengetahui
pengaruh lapisan social masyarakat terhadap
implementasi hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Islam
Istilah hukum islam berasal dari dua kata dasar,
yaitu hukum dan islam. Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan
– peraturan atau norma – norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyaarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Sedangkan kata yang kedua islam, pengertian yang sederhana, islam berarti
agama Allah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw lalu disampaikan kepada umat
manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.
Dari gabungan kata hukum dan islam tersebut muncul istilah hukum islam.
Kata hukum islam tiak ditemukan sama
sekali di dalam alqur’ an dan literature hukum dalam islam, yang ada dalam al
qur’an adalah syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Atau yang
biasa digunakan dalam literature hukum dalam islaam adalah syari’ah islam,
fiqh, dan hukum syara’.
Dengan demikian kata hukum islam
merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiah dari
term Islamic law dari literature barat. Adapun definisi dari hukum islam itu
sendiri setidaknya ada dua pendapat yang berbeda di kalangan para ulam dan ahli
hukum islam di Indonesia. Hasbi ash-shiddieqy dalam bukunya falsafah hukum
islam memberikan definisi hukum islam dengan “ koleksi daya upaya fuquha dalam
menerapkan syari’at islam ssuai dengan kebutuhan masyarakat”. Pengertian hukum
islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh.
Sementara itu Amir syaifuddin
memberikan penjelasan bahwa apabila kata hukum dihubungkan dengan islam, maka
hukum islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allahdan sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku
dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah
bahwa kalau ada yang mengatakan bahwa hukum islam itu tidak berubah dan tetap
maka yang dimaksud dengan kata hukum islam di sini adalah bermakna syariah atau
hukum syara’. Yakni ajaran Allah yang kebenarannya bersifat mutlak dan telah
lengkap serta sempurna. Jika dikatakan bahwa hukum islam itu berubah dan dapat
dikonstektualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zamann, maka itu
merupakan hukum islam bermakna fiqh, sebagai hasil ijtihad dan interprestasi
manusia ( mujtahid ) terhadap ajaran syari’ah yang kebenarannya bersifat
relative.[1]
B.
Pengertian
Lapisan Sosial
Dalam suatu masyarakat ada orang atau kelompok yang
dihormati maupun tidak dihormati. Suatu negara bisa saja menentukan asas bahwa
negara mengakui asas persamaan derajat bagi warga negara di depan hukum dan
pemerintah namun hal itu secara empiris tidak dapat dihindari atau dihalangi.
Misalnya di suatu desa atau daerah kita menjumpai kelompok tertentu yang
mendapat sebutan kiyai, buya, atau tuan guru. Mereka itu mendapatkan posisi
penghargaan yang tinggi dibanding rata – rata masyarakat biasa. Bahkan di
lingkungan orang petani juga ada lapisan masyarakat petani, misalnya ada tuan
tanah dan ada buruh tani.
Semuanya itu terjadi dengan sendirinya dan tidak ada
yang menganjurkan atau mendesain, tapi berjalan secara alamiah yang tidak dapat
dihindari atau ditolak. Atas dasar fakta – fakta tersebut dapat disimpulkan apa
itu lapisan social, lapisan social adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas
secara bertingkat yang terjadi secara alamiah.[2]
Perwujudannya adalah kelas – kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab
nilai – nilai social pengaruhnya di antara anggota – anggota masyarakat.
Penghargaan
terhadap sesuatu itulah yang menyebabakan timbulnya perbedaan kelas. Barang
sesuatu yang dihargai di dalam suatu masyarakat itu mungkin berupa benda –
benda yang bernilai ekonomis, atau mungkin berupa kekuasaan, ilmu pengetahuan
dan mungkin kesalehan dalam agama, siapapun yang memiliki yang berharga tadi
dalam jumlah yang banyak, maka dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang
menduduki lapisan paling tinggi.
Jika dalam masyarakat yang dihargai
adalah alat – alat produksi, maka mereka menguasai alat – alat produksi akan
menempati ( tigkatan ) atas dalam masyarakat.
Dalam masyarakat islam menurut
konsepnya tidak mengakui lapisan social. Hal itu didasarkan ada karakteristik
sebagai berikut :
a. Umat
islam sebagai umat yang satu ( ummatun wahidah ). Artinya pada dasarnya
sasarannya manusia adalah satu yang diikat leh kesamaan visi dan tujuan hidup berdasarkan akidah
tauhid. Kesatuan yang diikat oleh akidah ini mengalahkan segala ikatan
primordial yang ada
b. Umat
islam merupakan umat yang multiras, suku dan bangsa, artinya islam tidak
membedakan ras, suku dan bangsa. Mereka diturunkan allah untuk seluruh manusia
dari bangsa dan golongan manapun
c. Umat
islam menekankan kesamaan dan kesetaraan, prinsip kesamaan dan kesetaraan di
antara manusia untuk menghindarkan diskriminasi antar manusia
d. Umat
islam yang mendorong tegaknya masyarakat dalam segala urusan islam. Islam
mendorong lahirnya yang berdiri kokoh di atas nilai – nilai ilahiyah yang
sesuai dengan budaya manusia
e. Umat
islam yang mencintai keadilan. Ajaraan islam menekankan terwujudnya keadilan di
tengah masyarakat, tegaknya hukum dan komitmen terhadap ajaran islam
f. Umat
islam menekankan persatuan dan kesamaan. Islam mendorong terwujudnya persatuan
dan kesatuan yang didasarkan pada kesamaan tauhid
g. Umat
islam menekankan saling menghargai. Konsep persamaan yang terkandung dalam
ajaran islam melahirkan sikap saling menghargai
Karakteristik
tersebut benar adanya, tetapi dalam aktualitas di dalam msyarakat terjadi
pemaknaan yang terlalu alamiah, dimana dalam suatu masyarakat ada kelompok –
kelompok yang paling dihormati dan ada yang biasa – biasa saja penghormatannya.[3]
C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya
Lapisan Sosial
Lapisan
soaial adalah dinamika social yang natural atau terbentuk dengan sendirinya
tanpa ada unsur yang memaksa secara revolusioner, tetapi ini juga dipengaruhi
terbentuknya lapisan social antara lain :
a. Faktor
Intern.
Faktor ini melekat pada
diri seseorang yakni ditentukan oleh basic idea yang dimilikinya dan pedoman
hidup yang dijadikan kaidah baginya.
b. Faktor
Ektern
Factor ini meliputi
beberapa hal antara lain :
1. Factor
ideology
2. Factor
lingkungan yang saling mempengaruhi
Max
Weber melihat kelas – kelas dalam masyarakat, menurutnya ketidaksamaan yang
terungkap dengan adanya kelas – kelas dalam golongan – golongaan status adalah
karena ketidaksamaan dalam kekuasaan. Oleh Weber kekuasan didefinisikan sebagai
kemungkinan yang dimiliki orang – orang untuk terus melaksanakan kehendaknya
walaupun bertentangan dengan kehendak orang lain. Kekuasaan dalam arti umum
bukanlah identic dengan kekuasaan ekonomi semata – mata atau dengan martabat
social tetapi hal ini merupakan dasar akibat dari kekuasaan. Tetapi kekuasaan
tidak selalu memiliki martabat social, kekuasaan ekonomi dan social menduduki
tempat sentral di dalam analisa kelas – kelas dan golongan – golongan status
masing – masing.[4]
Kelas ( social class ) , menurut
Weber ialah suatu golongan orang – orang dalam situasi kelas yang sama, yaitu
kesempatan untuk memperoleh barang – barang dan untuk menentukan sendiri
keadaan kehidupan ekstern dan nasib pribadi, sejauh kesempatan tergantung dari
dipunyai tidak dipunyainya milik yang dapat dimanfaatkan di pasaran barang –
barang atau pasaran tenaga kerja.
Menurut Kurt. B Mayer istilah kelas
hanya dipergunakan untuk lapisan yang berdasarkan atas unsur – unsur ekonomis,
sedangkan lapisan yang berdasarkan atas kehormatan kemasyarakatan dinamakan
kelompok kedudukan ( status group )
Joseph Schumpeter mengatakan bahwa
kelas – kelas dalam masyarakat trbentuk karena diperlukan untuk menyesuaikan
masyarakat dengan keperluan – keperluan yyang nyata. Akan tetapi makna kelas
dan gejala – gejala kemasyarakatn lainnya dapat dimengerti dengan benar apabila
diketahui riwayat terjadinya. [5]
Kekuaaan dan milik adalah komponen
komponen yang penting, berkat berkuasa maka milik mengakibatkan monopoli dan
kesempatan kesempatan kelas di bedakan atas dasar apa yang dimiliki atau tidak
dimiliki.
D. Lapisan Sosial Masyarakat Islam Di Indonesia
Struktur masyarakat orang islam di
Indonesia menempatkan orang – orang yang pandai atau mengetahui agama
dikelompokkan dalam lapisan ini. Kyai adalah sebutan khas orang yang dianggap
mengetahui agama islam di Indonesia, hal ini ada dimanapun. Sebutan ini
biasanya pemberian masyarakat yang tidak bisa diperoleh dari lembaga manapun.
Ada juga yang menempati lapisan di atas kyai
yaitu wali. Sebutan ini sulit diketahui saat ini siapa saja yang dapat
dikategorikan wali karena beliau yang telah mencapai derajat wali tidak pernah
mengakui dirinya wali. Masyarakat hanya menduga bahwa orang yang diberikan
kelebihan dalam agama dan kemampuan di luar kemampuan manusia lain di anggap
beliau sebagai wali.
Pada zaman dahulu terkenal di indoneia wali
Sembilan yang terbukti makamnya ada dan banyak di ziarahi oleh masyarakat
muslim Indonesia. Selain bukti makam – makam juga banyak nilai – nilai sosial
yang sampai sekarang sampai di ikuti oleh masyarakat.
Ada
lagi kelompok santri, yaitu mereka adalah orang – orang yang terpelajar mereka
dihormati berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan bermanfaat bagi
masyarakat sekelilingnya. Masyarakat minta toling para kaum santri untuk
menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapi.
Ada
juga kelompok abangan. Mereka ini adalah masyarakat yang islam tetapi dari sisi
pengetahuannyatentang islam masih awam. Masyarakat inilah yang biasanya menjadi
obyek para kaum kyai untuk diajari berbagai macam tentang hal islam. Dengan
hharapan semakin bertambah ilmu mereka kehidupan agamanya tidak mengalami
pasang surut.[6]
Islam
membagi lapisan social berdasarkan kaidah – kaidah yang dianutnya antara lain :
a) Lapisan
social berdasarkan kepemilikan ekonomi.
b) Lapisan
social berdasarkan jenis kelamin
c) Lapisan
social berdasarkan status social
d) Lapisan
social berdasarkan keagamaan
e) Lapisan
soaial berdasarkan kepemilikan ilmu pengetahuan[7]
E. Pengaruh Lapisan Sosial terhadap implementasi
Hukum Islam
Selama di dalam suatu masyarakat ada suatu yang
dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka
barang sesuatu tadi dapat menjadi bibit yang menumbuhkan adanya system berlapis
– lapisan dalam masyarakat tersebut. Barang sesuatu yang dihargai di dalam
masyarakat itu mungkin benda – benda yang bernilai ekonomis atau mungkin berupa
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama dan seterusnya. Barang siapa
memiliki sesuatu yang berharga tadi dalam jumlah yang banyak, maka dia dianggap
oleh masyarakat sebagai pihak yang menduduki lapisan tertinggi. System berlapis
– lapisan dalam masyarakat tadi disebut juga social stratification yaitu
pembedaan masyarakat ke dalam kelas – kelas secara bertingkat.[8]
Hal yang mewujudkan unsur – unsur baku dalam teori sosiologi tentang system
berlapis – lapis dalam masyarakat adalah kedudukan ( status ) dan peranan (
role ).
Kedudukan dapat diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok social. Kedudukan social artinya tempat
seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang – orang lain,
dalam arti lingkungan pergaulannya, hak – haknya dan kewajiban – kewajibannya.
Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.
Dengan demikian seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.
Sedangkan peranan merupakan aspek dinamis kedudukan
( status ). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dan
peranan ialah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisahkan
karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaaliknya. Tak ada peranan
tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.[9]
Pada umumnya manusia bercita – cita agar tidak ada
perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi, cita cita tersebut selalu akan tertumbuk pada
kenyataan yang berlainan. Setap
masyarakat harus meneempatkan warga – warga pada tempat – tempat tertentu di
dalam struktur social dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban –
kewajiban sebagai akibat dari penempatan tersebut. Dengan demikian maka
masyarakat meenghadapi dua persoalan, yaitu menempatkan individu – individu
tersebut dan mendorong mereka agar melaksanakn kewajibannya. Apabila, misalnya
semua kewajiban selalu sesuai dengan kemampuan – kemampuannya, maka tak akan di
jumpai kesulitan – kesulitan. Akan tetapi kenyataan – kenyataan tidaklah
demikian, kedudukan – kedudukan dan peranan – peranannya tertentu memerlukan
kemampuan – kemampuan dan latihan – latihan, dan pentingnya kedudukan –
kedudukan serta peranan – peranan tersebut juga selalu tidak sama. Maka tak
dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam system
pembalasan jasa sebagai pendorong agar warga – warganya mau melaksanakan
kewajiban – kewajibannya yang sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, mau tidak mau, harus ada system
berlapis – lapis di masyarakat, oleh karena gejala tersebut, sekaligus memecahkan persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat yaitu menempatkan warga – warganya pada tempat –
tempat yang tersedia dalam struktur social dan mendorong mereka agar
melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta perananya. Pengisisan
tempat – temat tersebut merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak
sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi wujudnya di dalam setiap masyarakat juga
berlainan, oleh karena hal itu tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing –
masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang dianggap penting
serta memerlukan kemampuan dan latihan – latihan yang maksimal. Tak banyak
individu – individu yang dapayt memenuhi persyaratan demikia, mungkin hanya
segolongan kecil saja di masyarakat. Maka oleh sebab itulah pada umumnya warga
– warga lapisan atas ( upper class ) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan
dengan lapisan menengah ( middle class) dan lapisan bawah ( lower class).
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting oleh
karena dapat menentukan nasib berjuta – juta manusia. Baik buruknya kekuasaan
tadi senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan
yang telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan
selalu ada di dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang
sudah kompleks susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada, kekuasaan tadi
tidak dapat dibagi rata kepada semua warga masyarakat. Justru karena pembagian
yang tidak merata tadi timbul makna yang pokok dari kekuasaan yaitu, kemampuan
untuk mmpengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuaaan.
Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antaara
yang berkuasa dengan yang dikuasai, atau dengan perkata lain, antara pihak yang
memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yag menerima
pengaruh itu dengan dengan rela atau karena terpaksa.apabila kekuasaan itu
dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya dalah pengikut –
pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap
kemampuan untuk mempengaruhi pihak pihak lain dapat dinamakan kekuasaan,
sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok
orang, yang mempunyai dukungan ataau pendapat pengakuan dari masyarakat. Adanya
wewenang hanya dapat memjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan –
kekuasaan yang nyata, tidak di dalam satu tangan atau tempat.
Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam masyarakat
merupakan gejala yang wajar, walaupun wujudnya kadang – kadang tidak di sukai
oleh masyarakat itu sendiri, oleh sifatnya yang mungkin tidak abnormal menurut
pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka
paling sedikit dua hal yang menonjol, yaitu pertama – tama bahwa para
pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai
kedudukan - kedudukan yang mengandung
unsur – unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tak dapat mempergunakan
kekuasaannya dengan sewenang – wenang oleh karena ada pembatasan – pembatasan
tentang peranannya, yang ditentukan oleh cita – cita masyarakat dan oleh
pembatasan – pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri.
Hal yang kedua adalah bahwa system hukum antara lain
menciptakan dan merumuskan hak –hak dan kewajiban – kewajiban beserta
pelaksanaanya. Dalam hal ini ada hak – hak warga masyarakat yang tak dapat
dijalankan oleh karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya, dan sebaliknya ada hak – hak dengan sendirinya didukung oleh
kekuasaan – kekuasaan tertentu.
Bagaimana hubungan antara kekuasaan,
lapisan – lapisan – lapisan social dan hukum, dikaatakan oleh Maclver sebagai
berikut:
“
every converment of rights, civil of political on an originally subject class
narrows the distance between rules and ruled and involves a change not only in
the distribution but also in the character of power. The investment of a
subject class with rights is a conferment of a degree of power on them, the
power top pursue new opoortunities, to seek new objectives , to give expression
to their opinions”.
Melalui suatu system hukum, hak – hak dan kewajiban
– kewajiban ditetapkan untuk masyarakat
yang menduduki posisi- posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak –
hak dan kewajiban – kewajiban mempunyai sifat timbal balik artinya hak
seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari pembagian
kekuasaan, dan memberi pengaruh terhadap system lapisan – lapisan social dalam
masyarakat.
Suatu system lapisan social yang tidak sengaja
dibentuk, akan kemudian menghasilkan hak – hak dan kewajiban – kewajiban
tertentu bagi warga – warganya, antara lain dapat dijumpai pada masyarakat tani
di daerah pedesaan di Jawa. Para petani biasanya membedakan antara wong baku
yaitu lapisan tertinggi yang terdiri dari orang – orang yang pertama – tama
datang menetap di desa yang bersangkutan, dengan lapisan kedua yang disebut
kuli gandok atau lindung yang terdiri dari laki – laki yang telah berkeluarga,
dan lapisan ketiga yang terdiri dari para bujangan yang dinamakan joko atau
sinoman. [10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
islam adalah seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama
islam. Yakni ajaran Allah yang kebenarannya bersifat mutlak dan telah lengkap
serta sempurna. Jika dikatakan bahwa hukum islam itu berubah dan dapat
dikonstektualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zamann, maka itu
merupakan hukum islam bermakna fiqh.
Lapisan
social adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas secara bertingkat yang
terjadi secara alamiah. Perwujudannya adalah kelas – kelas tinggi dan kelas
yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai – nilai
social pengaruhnya di antara anggota – anggota masyarakat.
Terbentuknya
lapisan social dipengaruhi oleh beberapa factor yakni :
a.
Faktor Intern.
Faktor ini melekat pada diri
seseorang yakni ditentukan oleh basic idea yang dimilikinya dan pedoman hidup
yang dijadikan kaidah baginya.
b.
Faktor Ektern
Factor ini meliputi beberapa hal
antara lain :
1.
Factor ideology
2.
Factor lingkungan yang saling mempengaruhi
Struktur
masyarakat orang islam di Indonesia menempatkan orang – orang yang pandai atau
mengetahui agama dikelompokkan dalam lapisan ini Kyai adalah sebutan khas orang
yang dianggap mengetahui agama islam di Indonesia, hal ini ada dimanapun.
Sebutan ini biasanya pemberian masyarakat yang tidak bisa diperoleh dari
lembaga manapun.
Ada
juga yang menempati lapisan di atas kyai yaitu wali. Pada zaman dahulu terkenal
di indoneia wali Sembilan yang terbukti makamnya ada dan banyak di ziarahi oleh
masyarakat muslim Indonesia. Selain bukti makam – makam juga banyak nilai –
nilai sosial yang sampai sekarang sampai di ikuti oleh masyarakat.
Islam
membagi lapisan social berdasarkan kaidah – kaidah yang dianutnya antara lain :
a) Lapisan social berdasarkan kepemilikan
ekonomi.
b) Lapisan social berdasarkan jenis kelamin
c) Lapisan social berdasarkan status social
d) Lapisan social berdasarkan keagamaan
e) Lapisan soaial berdasarkan kepemilikan ilmu
pengetahuan
Melalui
suatu system hukum, hak – hak dan kewajiban – kewajiban ditetapkan untuk masyarakat yang menduduki
posisi- posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak – hak dan kewajiban
– kewajiban mempunyai sifat timbal balik artinya hak seseorang menyebabkan
timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan, dan memberi
pengaruh terhadap system lapisan – lapisan social dalam masyarakat.
Suatu
system lapisan social yang tidak sengaja dibentuk, akan kemudian menghasilkan
hak – hak dan kewajiban – kewajiban tertentu bagi warga – warganya
B. Saran
Demikianlah makalah
yang kami buat. Semoga makalah ini menjadi salah satu bahan untuk menambah
pengetahuan kita mengenai hukum islam dan lapisan social masyarakat. Makalah
ini juga jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami berharap kritik dan saran
yang bersifat membangun guna penyusunan makalah berikutnya akan lebih baik
lagi
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ali Yusuf. 2002.
Wawasan Islam. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Barkatu
llah, Abdul Halim. 2006. Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok – Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati.
2013. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Supriyadi,
Ahmad. 2011. Sosiologi Hukum Islam.
Kudus: Nora Media Enterprise.
[1] Abdul Halim Barkatullah, Hukum
Islam ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ), hal. 3.
[2] Soerjono Soekanto dan Budi
Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013 ), hal. 198.
[3] Ahmad Supriyadi, Sosiologi Hukum
Islam ( Kudus: Nora Media Enterprise, 2011 ), hal. 71.
[4] Ibid., hal. 72.
[5] Soerjono Soekanto dan Budi
Sulistyowati, Op.cit., hal. 207.
[6] Ahmad Supriyadi, Op.cit., hal. 74.
[7] Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam (
Bandung: CV Pustaka Setia, 2002 ), hal. 66- 69.
[8] Soerjono Soekanto, Pokok – Pokok
Sosiologi Hukum ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994 ), hal. 76 -78.
[9] Soerjono Soekanto dan Budi
Sulistyowati, Op.cit., hal 210-211.
[10] Soerjono Soekanto, Op.cit., hal 79-82.
No comments:
Post a Comment