Sunday 24 June 2018

HUKUM ISLAM DAN LAPISAN SOSIAL MASYARAKAT


  
HUKUM ISLAM DAN LAPISAN SOSIAL MASYARAKAT
Tugas Makalah Guna Memenuhi
Mata Kuliah : Sosiologi Hukum Islam
Dosen Pengampu : Hasanain Haikal Hadining, S.H, MH

Disusun Oleh :
Dewi Ratna Sari                      ( 1520110053 )
Muhammad Mukhsin              ( 1520110054 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / PRODI  AHWAL
SYAKHSHIYYAH
TAHUN AJARAN 2016

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Setiap masyarakat mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal – hal tertentu dalam masyarakat yag bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal – hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada  kedudukan yang lebih tinggi dari lainnya.
Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan, misalnya mereka lebih banyak mempunyai kekayaan materill akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak – pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan social masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda – beda secara vertical.
Bahkan pada zaman dahulu, filsuf Aristoteles ( Yunani ) mengatakan di dalam negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka kaya sekali, melarat, dan berada di tengah – tengahnya. Ucapan demikian paling tidak membuktikan bahwa di zaman itu, dan sebelumnya, orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat – tingkat dari bawah ke atas.
Seorang sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin, pernah mengatakan bahwa lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atasan. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga daalam pandangan masyarakat mempunyai keudukan yang rendah.
Dalam setiap ajaran agama, khususnya ajaran agama islam muncul istilah keadaan social. Secara implisit, hal ini menandakan adanya kelas – kelas atau tingkatan – tingkatan dalam masyarakat, baik berdasarkan ekonomi, pendidikan, status, atau kekuasaan, dan sebagainya.
Ada pula perbedaan jenis kelamin, ras, suku bangsa warna kulit, bahasa, dan bentuk tubuh. Perbedaan tersebut tidak di maksudkan untuk membeda – bedakan keberadaan manusia  satu sama lain, melainkan untuk menunjukkan kebesaran dan kekuasaan  Allah. Namun karena manusia diciptakan Allah dengan dilengkapi akal dan nafsu, muncul persaingan di antara mereka untuk saling mengungguli dan saling menguasai dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang ekonomi, kekuasaan, ilmu pengetahuan ataupun bidang kehidupan lainnya.
Persaingan tersebut lambat laun semakin menajam sehingga ada yang unggul dan ada yang diungguli, juga ada yang menang da nada yang kalah. Pihak yang unggul menjadi kelompok yang berkuasa dan yang diungguli menjjadi kelompik yang dikuasi oleh pihak yang menang “ menjajah “ dan yang kalah “ dijajah “. Dari fenomena seperti itu, lahirlah pembedaan – pembedaan eksistensi manusia yang semuala diciptakan sama derajatnya menjadi terpilah – pilah pada lapisan tertentu.
Hukum islam secara konseptual dalam alqur’an dan hadist tidak mengakui adanya lapisan social. La fadhlali’arobiyyin wala’ ajamiyin illa bittaqwa. Ini menunjukkan adanya  kesamaan dalam kedudukan antara sesama manusia menurut islam.
Lapisan social merupakan suatu fakta yang ada dalam masyarakat kalangan islam. Sebut saja ada kyai,  santri, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya lapisan social dalam masyarakat  muslim yang terbentuk dengan sendirinya tanpa ada intervensi dari siapapun. Bahkan negara pun tidak pernah mengatur tentang lapian social.
1.      Kalau kita mengkaji hukum islam dan lapisan social masyarakat, di dalam hukum islam mengatur adanya lapisan social tetapi bukan berarti mereka yang di lapisan paling atas mendapat keringanan hukum, tetapi di sini menjelaskan bahwa hukum memang banyak yang di produksi oleh mereka yang berada pada lapisan paling atas. Dalam makalah ini, kami hanya mengulas mengenai pengertian hukum islam, pengertian lapisan social, factor – factor terjadinya lapisan social, lapisan social masyarakat di Indonesia ,serta pengaruh lapisan social masyarakat terhadap implementasi hukum Islam
II. Rumusan Masalah
2.      Apakah yang dimaksud dengan hukum Islam ?
3.      Apakah yang dimaksud  Lapisan Sosial ?
4.       Apa saja faktor – factor yang mempengaruhi terbentuknya lapisan social masyarakat ?
5.      Bagaimana lapisan social masyarakat di Indonesia ?
6.      Bagaimana  pengaruh lapisan social masyarakat terhadap implementasi hukum Islam ?

III. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari hukum Islam
2.      Untuk mengetahui pengertian dari lapisan social masyarakat
3.      Untuk mengetahui apa saja factor – factor yang mempengaruhi terbentuknya lapisan social masyarakat
4.      Untuk mengetahui  lapisan social masyarakat di Indonesia
5.      Untuk mengetahui pengaruh lapisan social  masyarakat terhadap implementasi hukum Islam




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Islam
Istilah hukum islam berasal dari dua kata dasar, yaitu hukum dan islam. Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan – peraturan atau norma – norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyaarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Sedangkan kata yang kedua islam,  pengertian yang sederhana, islam berarti agama Allah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Dari gabungan kata hukum dan islam tersebut muncul istilah hukum islam.
            Kata hukum islam tiak ditemukan sama sekali di dalam alqur’ an dan literature hukum dalam islam, yang ada dalam al qur’an adalah syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Atau yang biasa digunakan dalam literature hukum dalam islaam adalah syari’ah islam, fiqh, dan hukum syara’.
            Dengan demikian kata hukum islam merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiah dari term Islamic law dari literature barat. Adapun definisi dari hukum islam itu sendiri setidaknya ada dua pendapat yang berbeda di kalangan para ulam dan ahli hukum islam di Indonesia. Hasbi ash-shiddieqy dalam bukunya falsafah hukum islam memberikan definisi hukum islam dengan “ koleksi daya upaya fuquha dalam menerapkan syari’at islam ssuai dengan kebutuhan masyarakat”. Pengertian hukum islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh.
            Sementara itu Amir syaifuddin memberikan penjelasan bahwa apabila kata hukum dihubungkan dengan islam, maka hukum islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allahdan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah.
            Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kalau ada yang mengatakan bahwa hukum islam itu tidak berubah dan tetap maka yang dimaksud dengan kata hukum islam di sini adalah bermakna syariah atau hukum syara’. Yakni ajaran Allah yang kebenarannya bersifat mutlak dan telah lengkap serta sempurna. Jika dikatakan bahwa hukum islam itu berubah dan dapat dikonstektualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zamann, maka itu merupakan hukum islam bermakna fiqh, sebagai hasil ijtihad dan interprestasi manusia ( mujtahid ) terhadap ajaran syari’ah yang kebenarannya bersifat relative.[1]

B.     Pengertian Lapisan Sosial
Dalam suatu masyarakat ada orang atau kelompok yang dihormati maupun tidak dihormati. Suatu negara bisa saja menentukan asas bahwa negara mengakui asas persamaan derajat bagi warga negara di depan hukum dan pemerintah namun hal itu secara empiris tidak dapat dihindari atau dihalangi. Misalnya di suatu desa atau daerah kita menjumpai kelompok tertentu yang mendapat sebutan kiyai, buya, atau tuan guru. Mereka itu mendapatkan posisi penghargaan yang tinggi dibanding rata – rata masyarakat biasa. Bahkan di lingkungan orang petani juga ada lapisan masyarakat petani, misalnya ada tuan tanah dan ada buruh tani.
Semuanya itu terjadi dengan sendirinya dan tidak ada yang menganjurkan atau mendesain, tapi berjalan secara alamiah yang tidak dapat dihindari atau ditolak. Atas dasar fakta – fakta tersebut dapat disimpulkan apa itu lapisan social, lapisan social adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas secara bertingkat yang terjadi secara alamiah.[2] Perwujudannya adalah kelas – kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai – nilai social pengaruhnya di antara anggota – anggota masyarakat.
            Penghargaan terhadap sesuatu itulah yang menyebabakan timbulnya perbedaan kelas. Barang sesuatu yang dihargai di dalam suatu masyarakat itu mungkin berupa benda – benda yang bernilai ekonomis, atau mungkin berupa kekuasaan, ilmu pengetahuan dan mungkin kesalehan dalam agama, siapapun yang memiliki yang berharga tadi dalam jumlah yang banyak, maka dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang menduduki lapisan paling tinggi.
            Jika dalam masyarakat yang dihargai adalah alat – alat produksi, maka mereka menguasai alat – alat produksi akan menempati ( tigkatan ) atas dalam masyarakat.
            Dalam masyarakat islam menurut konsepnya tidak mengakui lapisan social. Hal itu didasarkan ada karakteristik sebagai berikut :
a.       Umat islam sebagai umat yang satu ( ummatun wahidah ). Artinya pada dasarnya sasarannya manusia adalah satu yang diikat leh kesamaan  visi dan tujuan hidup berdasarkan akidah tauhid. Kesatuan yang diikat oleh akidah ini mengalahkan segala ikatan primordial yang ada
b.      Umat islam merupakan umat yang multiras, suku dan bangsa, artinya islam tidak membedakan ras, suku dan bangsa. Mereka diturunkan allah untuk seluruh manusia dari bangsa dan golongan manapun
c.       Umat islam menekankan kesamaan dan kesetaraan, prinsip kesamaan dan kesetaraan di antara manusia untuk menghindarkan diskriminasi antar manusia
d.      Umat islam yang mendorong tegaknya masyarakat dalam segala urusan islam. Islam mendorong lahirnya yang berdiri kokoh di atas nilai – nilai ilahiyah yang sesuai dengan budaya manusia
e.       Umat islam yang mencintai keadilan. Ajaraan islam menekankan terwujudnya keadilan di tengah masyarakat, tegaknya hukum dan komitmen terhadap ajaran islam
f.       Umat islam menekankan persatuan dan kesamaan. Islam mendorong terwujudnya persatuan dan kesatuan yang didasarkan pada kesamaan tauhid
g.      Umat islam menekankan saling menghargai. Konsep persamaan yang terkandung dalam ajaran islam melahirkan sikap saling menghargai
Karakteristik tersebut benar adanya, tetapi dalam aktualitas di dalam msyarakat terjadi pemaknaan yang terlalu alamiah, dimana dalam suatu masyarakat ada kelompok – kelompok yang paling dihormati dan ada yang biasa – biasa saja penghormatannya.[3]

C.  Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Lapisan Sosial
Lapisan soaial adalah dinamika social yang natural atau terbentuk dengan sendirinya tanpa ada unsur yang memaksa secara revolusioner, tetapi ini juga dipengaruhi terbentuknya lapisan social antara lain :
a.       Faktor Intern.
Faktor ini melekat pada diri seseorang yakni ditentukan oleh basic idea yang dimilikinya dan pedoman hidup yang dijadikan kaidah baginya.
b.      Faktor Ektern
Factor ini meliputi beberapa hal antara lain :
1.      Factor ideology
2.      Factor lingkungan yang saling mempengaruhi
Max Weber melihat kelas – kelas dalam masyarakat, menurutnya ketidaksamaan yang terungkap dengan adanya kelas – kelas dalam golongan – golongaan status adalah karena ketidaksamaan dalam kekuasaan. Oleh Weber kekuasan didefinisikan sebagai kemungkinan yang dimiliki orang – orang untuk terus melaksanakan kehendaknya walaupun bertentangan dengan kehendak orang lain. Kekuasaan dalam arti umum bukanlah identic dengan kekuasaan ekonomi semata – mata atau dengan martabat social tetapi hal ini merupakan dasar akibat dari kekuasaan. Tetapi kekuasaan tidak selalu memiliki martabat social, kekuasaan ekonomi dan social menduduki tempat sentral di dalam analisa kelas – kelas dan golongan – golongan status masing – masing.[4]
            Kelas ( social class ) , menurut Weber ialah suatu golongan orang – orang dalam situasi kelas yang sama, yaitu kesempatan untuk memperoleh barang – barang dan untuk menentukan sendiri keadaan kehidupan ekstern dan nasib pribadi, sejauh kesempatan tergantung dari dipunyai tidak dipunyainya milik yang dapat dimanfaatkan di pasaran barang – barang atau pasaran tenaga kerja.
            Menurut Kurt. B Mayer istilah kelas hanya dipergunakan untuk lapisan yang berdasarkan atas unsur – unsur ekonomis, sedangkan lapisan yang berdasarkan atas kehormatan kemasyarakatan dinamakan kelompok kedudukan ( status group )
            Joseph Schumpeter mengatakan bahwa kelas – kelas dalam masyarakat trbentuk karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan – keperluan yyang nyata. Akan tetapi makna kelas dan gejala – gejala kemasyarakatn lainnya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya. [5]
            Kekuaaan dan milik adalah komponen komponen yang penting, berkat berkuasa maka milik mengakibatkan monopoli dan kesempatan kesempatan kelas di bedakan atas dasar apa yang dimiliki atau tidak dimiliki.

D.  Lapisan Sosial Masyarakat Islam Di Indonesia
Struktur masyarakat orang islam di Indonesia menempatkan orang – orang yang pandai atau mengetahui agama dikelompokkan dalam lapisan ini. Kyai adalah sebutan khas orang yang dianggap mengetahui agama islam di Indonesia, hal ini ada dimanapun. Sebutan ini biasanya pemberian masyarakat yang tidak bisa diperoleh dari lembaga manapun.
 Ada juga yang menempati lapisan di atas kyai yaitu wali. Sebutan ini sulit diketahui saat ini siapa saja yang dapat dikategorikan wali karena beliau yang telah mencapai derajat wali tidak pernah mengakui dirinya wali. Masyarakat hanya menduga bahwa orang yang diberikan kelebihan dalam agama dan kemampuan di luar kemampuan manusia lain di anggap beliau sebagai wali.
 Pada zaman dahulu terkenal di indoneia wali Sembilan yang terbukti makamnya ada dan banyak di ziarahi oleh masyarakat muslim Indonesia. Selain bukti makam – makam juga banyak nilai – nilai sosial yang sampai sekarang sampai di ikuti oleh masyarakat.
Ada lagi kelompok santri, yaitu mereka adalah orang – orang yang terpelajar mereka dihormati berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya. Masyarakat minta toling para kaum santri untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapi.
Ada juga kelompok abangan. Mereka ini adalah masyarakat yang islam tetapi dari sisi pengetahuannyatentang islam masih awam. Masyarakat inilah yang biasanya menjadi obyek para kaum kyai untuk diajari berbagai macam tentang hal islam. Dengan hharapan semakin bertambah ilmu mereka kehidupan agamanya tidak mengalami pasang surut.[6]
Islam membagi lapisan social berdasarkan kaidah – kaidah yang dianutnya antara lain :
a)      Lapisan social berdasarkan kepemilikan ekonomi.
b)      Lapisan social berdasarkan jenis kelamin
c)      Lapisan social berdasarkan status social
d)     Lapisan social berdasarkan keagamaan
e)      Lapisan soaial berdasarkan kepemilikan ilmu pengetahuan[7]
E.  Pengaruh Lapisan Sosial terhadap implementasi Hukum Islam
Selama di dalam suatu masyarakat ada suatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu tadi dapat menjadi bibit yang menumbuhkan adanya system berlapis – lapisan dalam masyarakat tersebut. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin benda – benda yang bernilai ekonomis atau mungkin berupa kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama dan seterusnya. Barang siapa memiliki sesuatu yang berharga tadi dalam jumlah yang banyak, maka dia dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang menduduki lapisan tertinggi. System berlapis – lapisan dalam masyarakat tadi disebut juga social stratification yaitu pembedaan masyarakat ke dalam kelas – kelas secara bertingkat.[8] Hal yang mewujudkan unsur – unsur baku dalam teori sosiologi tentang system berlapis – lapis dalam masyarakat adalah kedudukan ( status ) dan peranan ( role ).
Kedudukan dapat diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok social. Kedudukan social artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang – orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, hak – haknya dan kewajiban – kewajibannya. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.
Sedangkan peranan merupakan aspek dinamis kedudukan ( status ). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dan peranan ialah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.[9]
Pada umumnya manusia bercita – cita agar tidak ada perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi, cita  cita tersebut selalu akan tertumbuk pada kenyataan yang berlainan.  Setap masyarakat harus meneempatkan warga – warga pada tempat – tempat tertentu di dalam struktur social dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban – kewajiban sebagai akibat dari penempatan tersebut. Dengan demikian maka masyarakat meenghadapi dua persoalan, yaitu menempatkan individu – individu tersebut dan mendorong mereka agar melaksanakn kewajibannya. Apabila, misalnya semua kewajiban selalu sesuai dengan kemampuan – kemampuannya, maka tak akan di jumpai kesulitan – kesulitan. Akan tetapi kenyataan – kenyataan tidaklah demikian, kedudukan – kedudukan dan peranan – peranannya tertentu memerlukan kemampuan – kemampuan dan latihan – latihan, dan pentingnya kedudukan – kedudukan serta peranan – peranan tersebut juga selalu tidak sama. Maka tak dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam system pembalasan jasa sebagai pendorong agar warga – warganya mau melaksanakan kewajiban – kewajibannya yang sesuai dengan posisinya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, mau tidak mau, harus ada system berlapis – lapis di masyarakat, oleh karena gejala  tersebut, sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yaitu menempatkan warga – warganya pada tempat – tempat yang tersedia dalam struktur social dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta perananya. Pengisisan tempat – temat tersebut merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi wujudnya di dalam setiap masyarakat juga berlainan, oleh karena hal itu tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing – masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang dianggap penting serta memerlukan kemampuan dan latihan – latihan yang maksimal. Tak banyak individu – individu yang dapayt memenuhi persyaratan demikia, mungkin hanya segolongan kecil saja di masyarakat. Maka oleh sebab itulah pada umumnya warga – warga lapisan atas ( upper class ) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah ( middle class) dan lapisan bawah ( lower class).
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting oleh karena dapat menentukan nasib berjuta – juta manusia. Baik buruknya kekuasaan tadi senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang sudah kompleks susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga masyarakat. Justru karena pembagian yang tidak merata tadi timbul makna yang pokok dari kekuasaan yaitu, kemampuan untuk mmpengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuaaan.
Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antaara yang berkuasa dengan yang dikuasai, atau dengan perkata lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yag menerima pengaruh itu dengan dengan rela atau karena terpaksa.apabila kekuasaan itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya dalah pengikut – pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan ataau pendapat pengakuan dari masyarakat. Adanya wewenang hanya dapat memjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan – kekuasaan yang nyata, tidak di dalam satu tangan atau tempat.
Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam masyarakat merupakan gejala yang wajar, walaupun wujudnya kadang – kadang tidak di sukai oleh masyarakat itu sendiri, oleh sifatnya yang mungkin tidak abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit dua hal yang menonjol, yaitu pertama – tama bahwa para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah  para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan  - kedudukan yang mengandung unsur – unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tak dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang – wenang oleh karena ada pembatasan – pembatasan tentang peranannya, yang ditentukan oleh cita – cita masyarakat dan oleh pembatasan – pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri.
Hal yang kedua adalah bahwa system hukum antara lain menciptakan dan merumuskan hak –hak dan kewajiban – kewajiban beserta pelaksanaanya. Dalam hal ini ada hak – hak warga masyarakat yang tak dapat dijalankan oleh karena yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya, dan sebaliknya ada hak – hak dengan sendirinya didukung oleh kekuasaan – kekuasaan tertentu.
            Bagaimana hubungan antara kekuasaan, lapisan – lapisan – lapisan social dan hukum, dikaatakan oleh Maclver sebagai berikut:
“ every converment of rights, civil of political on an originally subject class narrows the distance between rules and ruled and involves a change not only in the distribution but also in the character of power. The investment of a subject class with rights is a conferment of a degree of power on them, the power top pursue new opoortunities, to seek new objectives , to give expression to their opinions”.
Melalui suatu system hukum, hak – hak dan kewajiban – kewajiban  ditetapkan untuk masyarakat yang menduduki posisi- posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak – hak dan kewajiban – kewajiban mempunyai sifat timbal balik artinya hak seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan, dan memberi pengaruh terhadap system lapisan – lapisan social dalam masyarakat.
Suatu system lapisan social yang tidak sengaja dibentuk, akan kemudian menghasilkan hak – hak dan kewajiban – kewajiban tertentu bagi warga – warganya, antara lain dapat dijumpai pada masyarakat tani di daerah pedesaan di Jawa. Para petani biasanya membedakan antara wong baku yaitu lapisan tertinggi yang terdiri dari orang – orang yang pertama – tama datang menetap di desa yang bersangkutan, dengan lapisan kedua yang disebut kuli gandok atau lindung yang terdiri dari laki – laki yang telah berkeluarga, dan lapisan ketiga yang terdiri dari para bujangan yang dinamakan joko atau sinoman. [10]
  


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum islam adalah  seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Yakni ajaran Allah yang kebenarannya bersifat mutlak dan telah lengkap serta sempurna. Jika dikatakan bahwa hukum islam itu berubah dan dapat dikonstektualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zamann, maka itu merupakan hukum islam bermakna fiqh.
Lapisan social adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas secara bertingkat yang terjadi secara alamiah. Perwujudannya adalah kelas – kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai – nilai social pengaruhnya di antara anggota – anggota masyarakat.
Terbentuknya lapisan social dipengaruhi oleh beberapa factor yakni :
a. Faktor Intern.
Faktor ini melekat pada diri seseorang yakni ditentukan oleh basic idea yang dimilikinya dan pedoman hidup yang dijadikan kaidah baginya.
b. Faktor Ektern
Factor ini meliputi beberapa hal antara lain :
1. Factor ideology
2. Factor lingkungan yang saling mempengaruhi

Struktur masyarakat orang islam di Indonesia menempatkan orang – orang yang pandai atau mengetahui agama dikelompokkan dalam lapisan ini Kyai adalah sebutan khas orang yang dianggap mengetahui agama islam di Indonesia, hal ini ada dimanapun. Sebutan ini biasanya pemberian masyarakat yang tidak bisa diperoleh dari lembaga manapun.
Ada juga yang menempati lapisan di atas kyai yaitu wali. Pada zaman dahulu terkenal di indoneia wali Sembilan yang terbukti makamnya ada dan banyak di ziarahi oleh masyarakat muslim Indonesia. Selain bukti makam – makam juga banyak nilai – nilai sosial yang sampai sekarang sampai di ikuti oleh masyarakat.
Islam membagi lapisan social berdasarkan kaidah – kaidah yang dianutnya antara lain :
a)   Lapisan social berdasarkan kepemilikan ekonomi.
b)   Lapisan social berdasarkan jenis kelamin
c)   Lapisan social berdasarkan status social
d)   Lapisan social berdasarkan keagamaan
e)   Lapisan soaial berdasarkan kepemilikan ilmu pengetahuan
Melalui suatu system hukum, hak – hak dan kewajiban – kewajiban  ditetapkan untuk masyarakat yang menduduki posisi- posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak – hak dan kewajiban – kewajiban mempunyai sifat timbal balik artinya hak seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan, dan memberi pengaruh terhadap system lapisan – lapisan social dalam masyarakat.
Suatu system lapisan social yang tidak sengaja dibentuk, akan kemudian menghasilkan hak – hak dan kewajiban – kewajiban tertentu bagi warga – warganya


B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat. Semoga makalah ini menjadi salah satu bahan untuk menambah pengetahuan kita mengenai hukum islam dan lapisan social masyarakat. Makalah ini juga jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami berharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyusunan makalah berikutnya akan lebih baik lagi


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ali Yusuf. 2002. Wawasan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Barkatu llah, Abdul Halim. 2006. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok – Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Supriyadi, Ahmad. 2011. Sosiologi Hukum Islam. Kudus: Nora Media Enterprise.




[1] Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ), hal. 3.
[2] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013 ), hal. 198.
[3] Ahmad Supriyadi, Sosiologi Hukum Islam ( Kudus: Nora Media Enterprise, 2011 ), hal. 71.
[4] Ibid., hal. 72.
[5] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op.cit., hal. 207.
[6] Ahmad Supriyadi, Op.cit., hal. 74.
[7] Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2002 ), hal. 66- 69.
[8] Soerjono Soekanto, Pokok – Pokok Sosiologi Hukum ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994 ), hal. 76 -78.
[9] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op.cit., hal 210-211.
[10] Soerjono Soekanto, Op.cit., hal 79-82.

No comments:

Post a Comment

TES WAWASAN KEBANGSAAN CPNS LATIHAN SOAL

TES WAWASAN KEBANGSAAN (JUMLAH SOAL : 45 ) 1.Proses Islamisasi di Nusantara terjadi melalui berbagai bentuk, kecuali : A. Kesenian dan...