Sunday, 24 June 2018

MURABAHAH DALAM FIQH MUAMALAH DAN PERBANKAN SYARIAH


MURABAHAH DALAM FIQH MUAMALAH DAN PERBANKAN SYARIAH
Tugas Makalah Guna Memenuhi
Mata Kuliah : Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Suhadi M.S.I

Disusun Oleh :
Ahmad Yahya                                ( 1520110037 )
 Ulin Bagus Maulida                     ( 1520110046 )
Dewi Ratna Sari                            ( 1520110053 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / PRODI  AHWAL
SYAKHSHIYYAH
TAHUN AJARAN 2017




BAB I
PENDAHULUAN
I.       Latar belakang
Islam adalah agama yang universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah menghambakan diri kepada Allah SWT dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial. Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.
Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syariah berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab.  Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa semata.
Di antara begitu banyaknya akad Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka.
Di samping itu Bank Syariah yang merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk tersebut adalah Murabahah.

II.    Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari murabahah ?
2.      Apa saja yang menjadi dasar hukum murabahah ?
3.      Apa saja rukun dan syarat murabahah ?
4.      Bagaimana pembebanan biaya dalam murabahah ?
5.      Apa saja perkembangan operasional murabahah ?
6.      Bagaimana aplikasi murabahah dalam perbankan syariah ?
III. Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dari murabahah
2.      Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar hukum murabahah
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan  rukun dan syarat murabahah
4.      Untuk mengetahui dan memaparkan  pembebanan biaya dalam murabahah
5.      Untuk mengetahui dan menjelaskan perkembangan operasional murabahah
6.      Untuk mengetahui  aplikasi murabahah dalam perbankan syariah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) (keuntungan ).  Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan.  Menurut ulama Hanafiyah mengatakan, murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi  dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah dengan keuntungan yang diinginkan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak. [1]
Secara pengertian umum  murabahah diartikan sebagai suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah dengan keuntungan tertentu yang disepakati.  Misalnya seorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.dari pengertian yang menyatakan adanya keuntungan disepakati, murabahah memiliki karakter yaitu si penjual harus memberitahu kepada si pembeli tentang harga pembelian barang dan juga menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.[2]
Jual beli secara murabahah secara terminologis adallah pembiayaan yang saling menguntungkan yang dilakukan oleh shabi al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasn bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdaapat nilai lebih yang merpakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Dari beberapa definisi di atas secara substansial memberikan pengertian  yang sama meskipun diungkapkan dengan berbeda – beda. Hal yang paling pokok bahwa murabahah adalah jenis jual beli. Sebagaimana jenis jual beli pada umumnya akad ini meniscayakan adanya barang yang dijual. [3]
Di samping itu akad murabahah merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu. yaitu keharusan adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak. [4]

B.     Dasar Hukum Murabahah
Sebagaimana diketahui bahwa murabahah adalah salah satu jenis dari jual beli, maka landasan syar’I nya akad murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Diantaranya
1.      Al Quran
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah:275).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya : “Wahai orang – orang beriman janganlah kalian makan harta diantara kalian dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang didasarkan pada rela sama rela diantara kalian”. (QS. An-Nisaa:29)[5]

Dua ayat di atas menegaskan akan keberadaan jual beli pada umumnya. Ayat pertama berbicara tentang halalnya jual beli tanpa ada pembatasan dalam pengertian tertentu. Sedangkan ayat kedua berisi tentang larangan kepada orang – orang beriman untuk memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, sekaligus menganjurkan untuk melakukan perniagaan yang didasarkan rasa saling ridlo. Oleh karena itu ayat murabahah tidak didasarkan pada sebuah ayat spesifik dari Al Qur’an , akan tetapi di dasarkan pada keumuman dalil jual beli dalam Al Qur’an.
2.      Hadits
Adapun hadits yang dapat dijadikan landasan adalah:
`روي عن ابن مسعود زضي الله عنه أنه كان الا يرى باءبده يز دهو, وده دوازده , أي كل عشرة ربحها درهم، وكل عشرةربحها درهمان
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud RA bahwa ia tidak memandang masalah terhadap jual beli yang dilakukan dengan menghitung setiap sepuluh mendapatkan laba satu atau dua dirham”.
 Hadits tersebut menceritakan tentang persetujuan Ibn Abbas salah seorang sahabat Nabi terhadap jual beli yang diakukan dengan menghitung harga pokok di tambah labanya. Dikatakan oleh Ibnu Abbas bahwa menjual barang dengan menyebutkan harga pokoknya dan meminta keuntungan tertentu dari barang yang dijual tersebut merupakan jual beli yang diperbolehkan, jual beli yang cara seperti inilah yang disebut dengan jual beli murabahah.[6]
3.      Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal. 200.).

4.      Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

5.      Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH.

C.    Rukun dan Syarat Murabahah
Oleh karena murabahah adalah satu jenis jual beli, maka rukun murabahah adalah seperti rukun jual beli pada umumnya, yang menurut jumhur ulama yaitu aqidain ( penjual dan pembeli ) , adanya obyek jual beli, shigat (ijab qabul ) , dan harga yang disepakati.[7]  Sedangkan syarat – syarat murabahah adalah sebagai berikut:
1.      Harga awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak ( penjual atau pembeli ). Dalam akad murabahah, penjual wajib menyampaikan secara transparan harga beli pertama dari barang yang akan ia jual kepada pembeli. Sedangkan pembeli mempunyai hak untuk mengetahui harga beli barang.
2.      Besarnya keuntungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, penjual wajib menyampaikan keuntungan yang diinginkan dan pembeli mempunyai hak untuk mengetahui bahkan menyepakati keuntungan yang akan diperoleh oleh penjual.jika salah satu kedua belah pihak tidak sepakat terhadap keuntungann penjual, maka akad murabahah tidak terjadi.
3.      Harga pokok dapat diketahui secara pasti satuannya. Seperti satu dinar, saatu dirham, seratus ribu rupiah, satu kilogram dan lain – lain. Sebab dalam murabahah dan dalam jual beli lainnya, yang dikehendaki adalah adanaya transparansi antara harga pokok dan kemungkinan laba yang akan diperoleh. Jika barang yang akan ditransaksikan tidak diketahui satuannya, maka akan sulit menentukan keuntungan yang akan diperoleh. Sehingga murabahah pun tidak jadi.[8]
4.      Murabahah tidak bisa di campur dengan transaksi ribawi. Pada jual beli barter misalnya, sebuah barang dibeli dengan timbangan atau takaran tertentu kemudian dibeli orang lain dengan jenis barang yang sama dengan pembelian pertama tetapi takaran yang lebih banyak, maka hal tersebut dikatakan sebagai riba.
5.      Akad pertama dalam murabahah harus benar. Jika pada pembelian pertama tidak dilakukan dengan cara yang benar maka transaksi murabahah dianggap batal.[9]

D.    Pembebanan Biaya dalam Murabahah
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya, Ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan tambah pada barang itu.
            Ulama Mazhab Syafi’I membolehkan membebankan biaya – biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya, begitu pula biaya – biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.
            Ulama Mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya – biaya yang timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya – biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual. [10]
            Ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya – biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.
            Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan langsung kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual. Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus dilakukan oleh si penjual,  mazhab maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketigamazhab lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang.[11]

E.     Perkembangan Operasional Murabahah
Pada awalnya transaksi murabahah adalah transaksi jual beli sederhana yang dipraktekkan dengan kerelaan penjual untuk menyampaikan harga pokok dan laba yang diinginkan. Dalam perkembangannya jenis jual beli ini mengalami dinamika. Beberapa yang merupakan bentuk perkembangan dari jual beli murabahah:
1.      Tipe murabahah dalam praktiknya dapat dilakukan langsung oleh penjual dan pembeli tanpa melalui pesanan. Begitu pula dapat dilakukan dengan cara melipatkan pihak ketiga (supplier ).
Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya( bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah ). Dalam konteks pelaksanaanya di bank syariah, maka nasabah ( customer ) sebagai pemesan barang kepada pihak bank, bank sebagai pembeli dan membayarnya kepada supplier kemudian pihak bank menyerahkan barang pesanan nasabah dengan tingkat margin yang telah disepakati ketika akad.[12]
2.      Murabahah dengan bayar tangguh
     Saat ini banyak dipraktikkan dalam masyarakat, dimana murabahah bukan hanya sekedar jual beli dengan penyebutan harga awal dan laba yang diinginkan oleh penjual, namun juga mengakomodasi murabahah yang dilakukan dengan melahirkan utang piutang bagi pembeli yang tidak mampu membayarnya secara cash. Transaksinya adalah selain pembeli sama – sama tahu harga pokoknya, mereka juga sepakat dengan pola pembayaran  cara diangsur atau tangguh.
3.      Adanya jaminan dari pembeli terhadap penjual
Pada dasarnya jaminan bukanlah salah satu bagian dari rukun maupun syarat murabahah. Akan tetapi, sebagai akibat praktik murabahah dilakukan dengan pembayaran tangguh / angsur maka munculnya jaminan jadi sangat perlu. Hal ini untuk menjaga agar calon pembeli tidak main – main dengan barang yang sudah dam kesanggupan calon penjualnya.[13]
4.      Murabahah dilakukan dengan barang yang belum ada
Sebagaimana jual beli pada umumnya, akad murabahah dapat berlangsung jika obyek/ barang sudah ada di tangan penjual. Penjual tidak bisa menjual barang yang masih belum jelas. Akan tetapi, dalam perkembangannya, murabahah dilakukan dengan kondisi barang belum di tangan penjual, maka cara yang dapat ditempuh adalah penjual memesan/ mencari barang terlebih dahulu sesuai dengan apa yang diinginkan pembeli. [14]

F.     Aplikasi Murabahah dalam Perbankan Syari’ah
Di perbankan syari’ah Indonesia, praktek akad murabahah didasarkan pada Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Secara umum fatwa tersebut memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada nasabah.[15]
ü  ketentuan fatwa terhadap bank adalah sebagai berikut:
a)      Bank dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba dan bukan barang haram.
b)      Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati sendiri
c)      Bank membeli barang tersebut atas nama bank sendiri
d)     Bank menjual barang kepada nasabah dengan harga beli ditambah dengan keuntungan yang diinginkan dan harus disepakati kedua belah pihak. dalam hal ini bank harus secara jujur menyampaikan harga beli kepada nasabah.
e)      Nasabah membayar harga barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan
f)       Untuk menghindari terjadinya kecurangan penyalahgunaan atau kerusakan bank dapat mengadakan perjanjian khusus.
g)      Jika bank kesulitan menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah karena harus menyiapkan gudang, bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah. dalam hal seperti ini murabahah dapat dilakukan jika secara prinsip barang  sudah menjadi milik bank
ü  ketentuan praktek murabahah terhadap nasabah
a)      Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank.
b)      Dalam kontrak jual beli tersebut, bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka terlebih dahulu saat penandatanganan kontrak
c)      Jika nasabah menolak membeli barang tersebut, bank dapat meminta uang muka tersebut sebagai biaya rill barang yang telah telah dibeli. jika nilai uang muka tersebut kurang, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah[16]
d)     Bank dapat meminta jaminan kepada nasabah, semata mata agar nasabah tidak mengkhianati janji yang telah disepakati. jaminan di terapkan sebagai tanda ikatan perjanjian kedua belah pihak agar para pihak tidak ingkar.
e)      Hutang yang timbul dari akad murabahah secara prinsip penyelesaiannya tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut baik ada untung maupun mengalami kerugian, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank sebesar harga yang telah disepakati.
f)       jika nasabah pada akhirnya dianggap pailit, dan dia tidak bisa melunasi hutangnya, bank harus memberikan toleransi kepada nasabah. bank tidak boleh serta merta langsung mengeksekusi jaminan yang di pegang bank. toleransi ini diberikan semata – mata untuk meringankan beban nasabah.[17]


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan  
Secara pengertian umum  murabahah diartikan sebagai suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah dengan keuntungan tertentu yang disepakati.  Misalnya seorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.dari pengertian yang menyatakan adanya keuntungan disepakati, murabahah memiliki karakter yaitu si penjual harus memberitahu kepada si pembeli tentang harga pembelian barang dan juga menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa murabahah adalah salah satu jenis dari jual beli, maka landasan syar’I nya akad murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Adapun dasar hukum murabahah dapat dilihat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist
 Rukun murabahah adalah seperti rukun jual beli pada umumnya, yang menurut jumhur ulama yaitu aqidain, adanya obyek jual beli, shigat, dan harga yang disepakati.  Sedangkan syarat – syarat murabahah adalah sebagai berikut:
ü  Harga awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak ( penjual atau pembeli )
ü  Besarnya keuntungan harus diketahui dan disepakatioleh kedua belah pihak,
ü  Harga pokok dapat diketahui secara pasti satuannya.
ü  Murabahah tidak bisa di campur dengan transaksi ribawi.
ü  Akad pertama dalam murabahah harus benar
Mengenai pembebanan biaya, Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan langsung kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual.
Dalam perkembangannya jenis jual beli ini mengalami dinamika. Beberapa yang merupakan bentuk perkembangan dari jual beli murabahah:
*      Tipe murabahah dalam praktiknya dapat dilakukan langsung oleh penjual dan pembeli tanpa melalui pesanan. Begitu pula dapat dilakukan dengan cara melipatkan pihak ketiga (supplier ).
*      Murabahah dengan bayar tangguh
*      Adanya jaminan dari pembeli terhadap penjual
*      Murabahah dilakukan dengan barang yang belum ada
Di perbankan syari’ah Indonesia, praktek akad murabahah didasarkan pada Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Secara umum fatwa tersebut memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada nasabah.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga makalah ini menjadi salah satu bahan untuk menambah pengetahuan kita tentang murabahah dalam fiqh dan perbankan syariah dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyusaunan makalah berikutnya


DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M Yazid. 2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Iska, Syukri. 2012. Sistem Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Karim, Adiwarman Azwar. 2003. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia.
Mardani. 2015. Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Muhammad. 2016. Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (Anggota IKAPI ).



[1] M Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2009, Hal.,85.
[2] Ibid., Hal., 86-87.
[3] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2012. Hal., 200.
[4] M Yazid Afandi, Op. Cit., Hal., 86.
[5] Ibid., Hal., 87.
[6] Ibid., Hal., 88-89.
[7] Syukri Iska, Op. Cit., Hal., 203.
[8] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, Hal., 137.
[9] M Yazid Afandi, Op. Cit., Hal., 90-91.
[10] Adiwarman Azhar Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, Hal., 162.
[11] Syukri Iska, Op. Cit., Hal., 202-203.
[12] Muhammad, Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syariah, UII Press Yogyakarta ( Anggota IKAPI ), Yogyakarta, 2016, Hal., 153.
[13] M Yazid Afandi, Op. Cit., Hal., 94
[14] Ibid., Hal 95.
[16] M. Yazid Affandi, Op. Cit., Hal., 96-97.
[17] Ibid., Hal., 98.

No comments:

Post a Comment

TES WAWASAN KEBANGSAAN CPNS LATIHAN SOAL

TES WAWASAN KEBANGSAAN (JUMLAH SOAL : 45 ) 1.Proses Islamisasi di Nusantara terjadi melalui berbagai bentuk, kecuali : A. Kesenian dan...