MURABAHAH
DALAM FIQH MUAMALAH DAN PERBANKAN SYARIAH
Tugas Makalah Guna
Memenuhi
Mata
Kuliah : Fiqh Muamalah
Dosen
Pengampu : Suhadi M.S.I
Disusun
Oleh :
Ahmad Yahya ( 1520110037 )
Ulin Bagus Maulida ( 1520110046 )
Dewi Ratna Sari
( 1520110053 )
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / PRODI AHWAL
SYAKHSHIYYAH
TAHUN
AJARAN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
Islam adalah agama yang universal
sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada garis
besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah
menghambakan diri kepada Allah SWT dengan menaati segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan yang
menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial. Untuk
kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan
pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.
Dewasa ini
lembaga keuangan berlabel syariah berkembang dalam skala besar dengan
menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah
berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan
istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut
adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syariat Islam ataukah hanya rekayasa
semata.
Di
antara begitu banyaknya akad Murabahah adalah salah satu dari bentuk akad jual
beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan
modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yang memiliki prospek
keuntungan yang cukup menjanjikan. Karena keuntungan yang menjanjikan itulah
Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syariah menjadikannya sebagai
produk financing dalam pengembangan modal mereka.
Di samping itu
Bank Syariah yang merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah
Islam dalam mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang
perekonomian umat yang tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang
komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh
aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang
ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, dan agama
sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”. Melihat
banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam makalah ini penulis akan membahas
salah satu produk tersebut dalam konsep perbankan syariah. Salah satu dari produk
tersebut adalah Murabahah.
II.
Rumusan masalah
1.
Apa
pengertian dari murabahah ?
2.
Apa
saja yang menjadi dasar hukum murabahah ?
3.
Apa
saja rukun dan syarat murabahah ?
4.
Bagaimana
pembebanan biaya dalam murabahah ?
5.
Apa
saja perkembangan operasional murabahah ?
6.
Bagaimana
aplikasi murabahah dalam perbankan syariah ?
III. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan pengertian dari murabahah
2.
Untuk
mengetahui apa yang menjadi dasar hukum murabahah
3.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan rukun dan
syarat murabahah
4.
Untuk
mengetahui dan memaparkan pembebanan
biaya dalam murabahah
5.
Untuk
mengetahui dan menjelaskan perkembangan operasional murabahah
6.
Untuk
mengetahui aplikasi murabahah dalam
perbankan syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murabahah
Kata al-Murabahah diambil
dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ)
(keuntungan ). Sehingga murabahah
berarti saling menguntungkan. Menurut
ulama Hanafiyah mengatakan, murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang
kepada orang lain sesuai dengan transaksi
dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah dengan keuntungan
yang diinginkan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat murabahah adalah
jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual
ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak. [1]
Secara pengertian umum murabahah diartikan sebagai suatu penjualan
barang seharga barang tersebut ditambah dengan keuntungan tertentu yang
disepakati. Misalnya seorang membeli
barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.dari pengertian
yang menyatakan adanya keuntungan disepakati, murabahah memiliki karakter yaitu
si penjual harus memberitahu kepada si pembeli tentang harga pembelian barang
dan juga menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.[2]
Jual beli secara murabahah secara
terminologis adallah pembiayaan yang saling menguntungkan yang dilakukan oleh shabi
al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan
penjelasn bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdaapat nilai lebih
yang merpakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya
dilakukan secara tunai atau angsur.
Dari beberapa definisi di atas
secara substansial memberikan pengertian
yang sama meskipun diungkapkan dengan berbeda – beda. Hal yang paling
pokok bahwa murabahah adalah jenis jual beli. Sebagaimana jenis jual beli pada
umumnya akad ini meniscayakan adanya barang yang dijual. [3]
Di samping itu akad murabahah
merupakan akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu. yaitu keharusan
adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli
sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Keuntungan yang diinginkan
oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak. [4]
B.
Dasar Hukum Murabahah
Sebagaimana diketahui bahwa
murabahah adalah salah satu jenis dari jual beli, maka landasan syar’I nya akad
murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Diantaranya
1.
Al Quran
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah:275).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya : “Wahai orang – orang beriman janganlah kalian makan
harta diantara kalian dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang didasarkan pada rela sama rela diantara kalian”. (QS. An-Nisaa:29)[5]
Dua ayat di atas menegaskan akan
keberadaan jual beli pada umumnya. Ayat pertama berbicara tentang halalnya jual
beli tanpa ada pembatasan dalam pengertian tertentu. Sedangkan ayat kedua
berisi tentang larangan kepada orang – orang beriman untuk memakan harta orang
lain dengan cara yang bathil, sekaligus menganjurkan untuk melakukan perniagaan
yang didasarkan rasa saling ridlo. Oleh karena itu ayat murabahah tidak
didasarkan pada sebuah ayat spesifik dari Al Qur’an , akan tetapi di dasarkan
pada keumuman dalil jual beli dalam Al Qur’an.
2.
Hadits
Adapun hadits yang dapat dijadikan landasan adalah:
`روي عن ابن مسعود زضي الله عنه أنه كان الا
يرى باءبده يز دهو, وده دوازده , أي كل عشرة ربحها درهم، وكل عشرةربحها درهمان
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud RA bahwa ia tidak
memandang masalah terhadap jual beli yang dilakukan dengan menghitung setiap
sepuluh mendapatkan laba satu atau dua dirham”.
Hadits tersebut menceritakan tentang
persetujuan Ibn Abbas salah seorang sahabat Nabi terhadap jual beli yang
diakukan dengan menghitung harga pokok di tambah labanya. Dikatakan oleh Ibnu Abbas
bahwa menjual barang dengan menyebutkan harga pokoknya dan meminta keuntungan
tertentu dari barang yang dijual tersebut merupakan jual beli yang
diperbolehkan, jual beli yang cara seperti inilah yang disebut dengan jual beli
murabahah.[6]
3. Al-Ijma
Transaksi
ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang
mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal.
200.).
4. Kaidah Fiqh,
yang menyatakan:
الأَصْلُ فِِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ
يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
5.
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis
Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH.
C.
Rukun dan Syarat Murabahah
Oleh karena murabahah adalah satu
jenis jual beli, maka rukun murabahah adalah seperti rukun jual beli pada
umumnya, yang menurut jumhur ulama yaitu aqidain ( penjual dan pembeli ) ,
adanya obyek jual beli, shigat (ijab qabul ) , dan harga yang disepakati.[7] Sedangkan syarat – syarat murabahah adalah
sebagai berikut:
1.
Harga
awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak ( penjual atau pembeli ). Dalam
akad murabahah, penjual wajib menyampaikan secara transparan harga beli pertama
dari barang yang akan ia jual kepada pembeli. Sedangkan pembeli mempunyai hak
untuk mengetahui harga beli barang.
2.
Besarnya
keuntungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, penjual wajib
menyampaikan keuntungan yang diinginkan dan pembeli mempunyai hak untuk
mengetahui bahkan menyepakati keuntungan yang akan diperoleh oleh penjual.jika
salah satu kedua belah pihak tidak sepakat terhadap keuntungann penjual, maka
akad murabahah tidak terjadi.
3.
Harga
pokok dapat diketahui secara pasti satuannya. Seperti satu dinar, saatu dirham,
seratus ribu rupiah, satu kilogram dan lain – lain. Sebab dalam murabahah dan
dalam jual beli lainnya, yang dikehendaki adalah adanaya transparansi antara
harga pokok dan kemungkinan laba yang akan diperoleh. Jika barang yang akan
ditransaksikan tidak diketahui satuannya, maka akan sulit menentukan keuntungan
yang akan diperoleh. Sehingga murabahah pun tidak jadi.[8]
4.
Murabahah
tidak bisa di campur dengan transaksi ribawi. Pada jual beli barter misalnya,
sebuah barang dibeli dengan timbangan atau takaran tertentu kemudian dibeli
orang lain dengan jenis barang yang sama dengan pembelian pertama tetapi
takaran yang lebih banyak, maka hal tersebut dikatakan sebagai riba.
5.
Akad
pertama dalam murabahah harus benar. Jika pada pembelian pertama tidak
dilakukan dengan cara yang benar maka transaksi murabahah dianggap batal.[9]
D.
Pembebanan Biaya dalam Murabahah
Para ulama mazhab berbeda pendapat
tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut.
Misalnya, Ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait
dengan transaksi jual beli dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan
transaksi tersebut, namun memberikan tambah pada barang itu.
Ulama Mazhab
Syafi’I membolehkan membebankan biaya – biaya yang secara umum timbul dalam
suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen
ini termasuk dalam keuntungannya, begitu pula biaya – biaya yang tidak menambah
nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.
Ulama Mazhab
Hanafi membolehkan membebankan biaya – biaya yang timbul dalam suatu transaksi
jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya – biaya yang memang semestinya dikerjakan
oleh si penjual. [10]
Ulama Mazhab
Hanbali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat
dibebankan pada harga jual selama biaya – biaya itu harus dibayarkan kepada
pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.
Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang
harus dibayarkan langsung kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak
membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang
memang semestinya dilakukan penjual. Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan
biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu
harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus dilakukan oleh si
penjual, mazhab maliki tidak membolehkan
pembebanannya, sedangkan ketigamazhab lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat
sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah
nilai barang.[11]
E.
Perkembangan Operasional Murabahah
Pada awalnya
transaksi murabahah adalah transaksi jual beli sederhana yang dipraktekkan
dengan kerelaan penjual untuk menyampaikan harga pokok dan laba yang
diinginkan. Dalam perkembangannya jenis jual beli ini mengalami dinamika.
Beberapa yang merupakan bentuk perkembangan dari jual beli murabahah:
1.
Tipe
murabahah dalam praktiknya dapat dilakukan langsung oleh penjual dan pembeli
tanpa melalui pesanan. Begitu pula dapat dilakukan dengan cara melipatkan pihak
ketiga (supplier ).
Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian
barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat mengikat atau tidak
mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya( bank dapat meminta uang
muka pembelian kepada nasabah ). Dalam konteks pelaksanaanya di bank syariah,
maka nasabah ( customer ) sebagai pemesan barang kepada pihak bank, bank
sebagai pembeli dan membayarnya kepada supplier kemudian pihak bank menyerahkan
barang pesanan nasabah dengan tingkat margin yang telah disepakati ketika akad.[12]
2.
Murabahah
dengan bayar tangguh
Saat
ini banyak dipraktikkan dalam masyarakat, dimana murabahah bukan hanya sekedar
jual beli dengan penyebutan harga awal dan laba yang diinginkan oleh penjual,
namun juga mengakomodasi murabahah yang dilakukan dengan melahirkan utang
piutang bagi pembeli yang tidak mampu membayarnya secara cash. Transaksinya
adalah selain pembeli sama – sama tahu harga pokoknya, mereka juga sepakat
dengan pola pembayaran cara diangsur
atau tangguh.
3.
Adanya
jaminan dari pembeli terhadap penjual
Pada dasarnya jaminan bukanlah salah satu bagian dari rukun maupun
syarat murabahah. Akan tetapi, sebagai akibat praktik murabahah dilakukan
dengan pembayaran tangguh / angsur maka munculnya jaminan jadi sangat perlu.
Hal ini untuk menjaga agar calon pembeli tidak main – main dengan barang yang
sudah dam kesanggupan calon penjualnya.[13]
4.
Murabahah
dilakukan dengan barang yang belum ada
Sebagaimana jual beli pada umumnya, akad murabahah dapat
berlangsung jika obyek/ barang sudah ada di tangan penjual. Penjual tidak bisa
menjual barang yang masih belum jelas. Akan tetapi, dalam perkembangannya,
murabahah dilakukan dengan kondisi barang belum di tangan penjual, maka cara yang
dapat ditempuh adalah penjual memesan/ mencari barang terlebih dahulu sesuai
dengan apa yang diinginkan pembeli. [14]
F.
Aplikasi Murabahah dalam Perbankan Syari’ah
Di perbankan syari’ah Indonesia, praktek akad murabahah didasarkan
pada Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Secara umum fatwa tersebut
memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada nasabah.[15]
ü ketentuan fatwa terhadap bank adalah sebagai berikut:
a)
Bank
dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba dan bukan barang haram.
b)
Bank
membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
sendiri
c)
Bank
membeli barang tersebut atas nama bank sendiri
d)
Bank
menjual barang kepada nasabah dengan harga beli ditambah dengan keuntungan yang
diinginkan dan harus disepakati kedua belah pihak. dalam hal ini bank harus
secara jujur menyampaikan harga beli kepada nasabah.
e)
Nasabah
membayar harga barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan
f)
Untuk
menghindari terjadinya kecurangan penyalahgunaan atau kerusakan bank dapat
mengadakan perjanjian khusus.
g)
Jika
bank kesulitan menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah karena harus
menyiapkan gudang, bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
yang dibutuhkan oleh nasabah. dalam hal seperti ini murabahah dapat dilakukan
jika secara prinsip barang sudah menjadi
milik bank
ü
ketentuan
praktek murabahah terhadap nasabah
a)
Nasabah
mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada
bank.
b)
Dalam
kontrak jual beli tersebut, bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang
muka terlebih dahulu saat penandatanganan kontrak
c)
Jika
nasabah menolak membeli barang tersebut, bank dapat meminta uang muka tersebut
sebagai biaya rill barang yang telah telah dibeli. jika nilai uang muka
tersebut kurang, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah[16]
d)
Bank
dapat meminta jaminan kepada nasabah, semata mata agar nasabah tidak
mengkhianati janji yang telah disepakati. jaminan di terapkan sebagai tanda
ikatan perjanjian kedua belah pihak agar para pihak tidak ingkar.
e)
Hutang
yang timbul dari akad murabahah secara prinsip penyelesaiannya tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas
barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut baik ada untung
maupun mengalami kerugian, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk
menyelesaikan hutangnya kepada bank sebesar harga yang telah disepakati.
f)
jika
nasabah pada akhirnya dianggap pailit, dan dia tidak bisa melunasi hutangnya,
bank harus memberikan toleransi kepada nasabah. bank tidak boleh serta merta
langsung mengeksekusi jaminan yang di pegang bank. toleransi ini diberikan
semata – mata untuk meringankan beban nasabah.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara pengertian umum murabahah diartikan sebagai suatu penjualan
barang seharga barang tersebut ditambah dengan keuntungan tertentu yang
disepakati. Misalnya seorang membeli
barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu.dari pengertian
yang menyatakan adanya keuntungan disepakati, murabahah memiliki karakter yaitu
si penjual harus memberitahu kepada si pembeli tentang harga pembelian barang
dan juga menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa
murabahah adalah salah satu jenis dari jual beli, maka landasan syar’I nya akad
murabahah adalah keumuman dalil syara’ tentang jual beli. Adapun dasar
hukum murabahah dapat dilihat dalam
Al-Qur’an maupun Al-Hadist
Rukun murabahah adalah seperti rukun jual beli
pada umumnya, yang menurut jumhur ulama yaitu aqidain, adanya obyek jual beli,
shigat, dan harga yang disepakati.
Sedangkan syarat – syarat murabahah adalah sebagai berikut:
ü Harga awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak ( penjual atau
pembeli )
ü Besarnya keuntungan harus diketahui dan disepakatioleh kedua belah
pihak,
ü Harga pokok dapat diketahui secara pasti satuannya.
ü Murabahah tidak bisa di campur dengan transaksi ribawi.
ü Akad pertama dalam murabahah harus benar
Mengenai pembebanan biaya, Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya
langsung yang harus dibayarkan langsung kepada pihak ketiga. Keempat mazhab
sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan
pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual.
Dalam
perkembangannya jenis jual beli ini mengalami dinamika. Beberapa yang merupakan
bentuk perkembangan dari jual beli murabahah:
Tipe
murabahah dalam praktiknya dapat dilakukan langsung oleh penjual dan pembeli
tanpa melalui pesanan. Begitu pula dapat dilakukan dengan cara melipatkan pihak
ketiga (supplier ).
Murabahah
dengan bayar tangguh
Adanya
jaminan dari pembeli terhadap penjual
Murabahah
dilakukan dengan barang yang belum ada
Di perbankan syari’ah Indonesia,
praktek akad murabahah didasarkan pada Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000.
Secara umum fatwa tersebut memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada
nasabah.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga makalah ini menjadi salah satu bahan untuk menambah pengetahuan kita
tentang murabahah dalam fiqh dan perbankan syariah dan kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun guna penyusaunan makalah berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M Yazid. 2009. Fiqh
Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Iska, Syukri. 2012. Sistem
Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Karim, Adiwarman Azwar. 2003. Bank
Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia.
Mardani. 2015. Fiqh Ekonomi
Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Muhammad. 2016. Sistem Bagi Hasil
dan Pricing Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (Anggota IKAPI
).
[1] M Yazid Afandi,
Fiqh Muamalah, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2009, Hal.,85.
[2] Ibid.,
Hal., 86-87.
[3] Syukri Iska, Sistem
Perbankan Syariah di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2012. Hal.,
200.
[4] M Yazid
Afandi, Op. Cit., Hal., 86.
[5] Ibid.,
Hal., 87.
[6] Ibid.,
Hal., 88-89.
[7] Syukri Iska, Op.
Cit., Hal., 203.
[8] Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015,
Hal., 137.
[9] M Yazid
Afandi, Op. Cit., Hal., 90-91.
[10] Adiwarman
Azhar Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia,
Jakarta, 2003, Hal., 162.
[11] Syukri Iska, Op.
Cit., Hal., 202-203.
[12] Muhammad, Sistem
Bagi Hasil dan Pricing Bank Syariah, UII Press Yogyakarta ( Anggota IKAPI
), Yogyakarta, 2016, Hal., 153.
[13] M Yazid
Afandi, Op. Cit., Hal., 94
[15] https://fathirghaisan.wordpress.com/2011/10/10/murabahah/_e_pi=%2SPAGE_ID10/52C7155357133, diakses pada
tanggal 2 April 2017, pukul 20.00 WIB.
[16] M. Yazid
Affandi, Op. Cit., Hal., 96-97.
[17] Ibid.,
Hal., 98.
No comments:
Post a Comment